SURABAYA, Beritalima.com |
Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker) berencana untuk mengeluarkan Surat Edaran (SE) bagi perusahaan agar bisa mencicil pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) seperti tahun sebelumnya.
Melihat rencana tersebut, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N. memberikan pandangannya.
Secara teknis dan norma, dosen yang kerap disapa Hadi itu menjelaskan SE tersebut telah melanggar peraturan. Pasalnya, di dalam Permenaker No. 6 tahun 2016 telah dituangkan bahwasannya perusahaan swasta harus memberikan hak THR buruh paling lambat adalah H-7 hari raya. Selain itu, Hadi menyebutkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2021 yang akan memberikan denda 5 persen kepada perusahaan apabila terjadi keterlambatan dalam pemberian THR.
“Dikatakan melanggar aturan iya. Akan tetapi, merujuk pada situasi pandemi sekarang ini, saya melihat bahwa SE Kemenaker dapat dipahami. Dengan melihat kondisi krisis di lapangan, yang terpenting adalah bukan buruh dapat THR atau tidak, tetapi buruh masih bisa bekerja atau tidak,” terang dosen 47 tahun itu.
Lebih lanjut, dosen yang juga sekaligus Direktur Kemahasiswaan UNAIR itu menuturkan bahwa tidak ada pihak yang diuntungkan dalam SE tersebut. Bagi perusahaan sendiri, SE itu menjadi diskresi bagi kondisi keuangan perusahaan. Sementara bagi pemerintah, dia menyatakan bahwa aturan tersebut sebagai penyeimbang supaya sektor perusahaan tetap berjalan.
Tidak Boleh Digeneralisasi
Meski pihaknya menilai pencicilan THR saat masa pandemi bisa dipahami, namun dosen yang lahir pada 6 April 1973 itu menekankan SE tersebut tidak boleh digeneralisasi bagi semua perusahaan. Menurutnya, perusahaan yang masih mampu dan memiliki margin dalam laporan keuangannya, maka perusahaan itu harus tetap memberikan hak THR buruh sesuai aturan waktu.
“Namun, apabila kondisi perusahaan tersebut mengalami krisis atau kerugian selama pandemi, maka pemberian THR dengan sistem cicil diperbolehkan.
Di sinilah fungsi pengawas ketenagakerjaan yang ada di Disnaker setempat harus diperkuat. Setiap perusahaan harus transparan dengan kondisi keuangannya! Jangan sampai perusahaan justru memanfaakan moment dan menjadi penumpang gelap dengan memanfaatkan hak pekerja,” sambungnya.
Ditanya perihal nasib buruh, dosen mata kuliah Hukum Perburuhan itu berharap agar buruh dapat memahami SE tersebut dengan melihat situasi pandemi saat ini yang merugikan berbagai sektor industri. Ditambah lagi, lanjut Hadi larangan pemerintah untuk melakukan mudik juga menjadikan urgensi THR tidak begitu mendesak bagi buruh.
“Sebenarnya larangan mudik ini kan untuk mencegah penyebaran Covid-19, tetapi secara tidak langsung larangan itu berimplikasi pada nasib buruh di mana THR-nya diberikan dengan sistem cicil. Jadi, relevansi THR tidak sepenting seperti kondisi normal,” jelasnya.
Meski begitu, Hadi mengimbau perusahaan juga bisa memahami kondisi buruh dengan tetap memberikan THR sebagaimana jumlahnya dan dalam bentuk uang.
“Jangan hanya menuntut buruh untuk memahami situasi, tetapi pihak perusahaan sendiri tidak transparan dan acuh pada nasib buruh,” ujarnya.
Terakhir, Hadi berharap untuk negara tetap melakukan pengawasan terhadap kondisi setiap perusahaan agar penerapan SE itu dapat berjalan efektif.
Sebagai universitas terbaik di Indonesia, UNAIR terus mengembangkan keilmuan agar dapat menjawab tantangan yang ada di masyarakat. (Yul)