JAKARTA, Beritalima.com– Lingkungan kampus harus steril dari alat kekuasaan. Karena itu, kritik yang dilontarkan Badan Ekseekutif Mahasiswa (BEM) Univeersitas Indonesia (UI) melalui akun instragram BEM UI bertajuk Jokowi: The King of Lip Service menuai kontroversial.
Akibat kritik melalui instragram BEM UI tersebut pihak Rektorat perguruan tinggi negeri ternama itu memanggil Pengurus BEM UI untuk dimintai klarifikasi.
“Pemanggilan pihak Rektorat UI terhadap Pengurus BEM UI itu patut disayangkan. Tidak selayaknya kritik diselesaikan dengan pemanggilan semacam itu,” ungkap pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga.
Penanganan kritik semacam itu, lanjut pria yang akrab disapa Jamil ini ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (28/6), sama saja dengan upaya pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
“Kampus seharusnya sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat. Apalagi sejak reformasi digulirkan 23 tahun silam, Indonesia menjadi negara demokrasi. Demokrasi meembolekan warga negara menyampaikan pendapat atau mengkritisi Pemerintah yang berkuasa,” kata Jamil.
Dikatakan Jamil, bila rektor di kampus sudah mengintervensi kebebasan berpendapat, kampus sebagai benteng terakhir mengemukakan pendapat otomatis sudah berakhir alias mati.
“Akibatnya, Indonesia tidak bisa lagi disebut sebagai negara demokrasi, tetapi menjadi negara otoriter. Ini sama saja dengan mengkhianati reformasi yang diperjuangkan rakyat bersama para mahasiswa,” ungkap bapak dua putra teersebut.
Hal itu, lanjut Jamil, tentu berbahaya dalam perkembangan demokrasi di tanah air. Lonceng kematian berdemokrasi tinggal menunggu waktu saja.
Karena itu, para rektor harus bersikap dengan menentang keras upaya pembungkaman kebebasan berpendapat.
Para rektor harus menjaga kampus terbebas dari intervensi kekuasaan, terutama dalam kebebasan berpendapat. Selain itu, para rektor juga harus menjamin civitas akademika tak merasa takut dalam berpendapat. Hanya dengan begitu, kampus tetap steril dari intervensi kekuasaan,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)