SURABAYA, beritalima.com|
Menyambut pesta demokrasi tahun 2024 yang semakin dekat, mekanisme serta tata cara pemilu kembali mendapat berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah usulan sistem pemilihan proporsional tertutup yang kini mendapat banyak argumentasi dari berbagai kalangan.
Bila sah ditetapkan dalam pemilihan umum mendatang, pakar politik asal Universitas Airlangga (Unair) Ali Sahab SIP MSi menilai hal itu sebagai kemunduran demokrasi.
“Dalam sistem pemilihan tertutup, masyarakat tidak mempunyai kebebasan dalam memilih calon legislatif (caleg), karena hanya memilih gambar partai,” sebutnya.
Berbeda dengan sistem pemilihan terbuka, sistem pemilihan tertutup membatasi pemilih untuk memilih partai politik secara keseluruhan, sehingga kandidat legislatif ditentukan oleh partai sejumlah kursi yang didapatkan. Ali menyebutkan, mekanisme ini dapat berdampak pada turunnya tingkat partisipasi dikarenakan tidak adanya caleg yang dikenal dan dapat dipilih dalam surat suara.
Perebutan Posisi Ketua Partai
Di samping itu, kepemilikan hak dalam menentukan posisi dan urutan caleg yang berhasil melaju menjadi legislatif juga dapat berdampak pada kepengurusan partai.
“Sistem ini akan semakin memperkuat partai, khususnya pada posisi ketua partai. Sehingga dampak lainnya, kedudukan sebagai ketua partai akan menjadi rebutan,” jelas dosen yang telah mengabdi di Unair sejak tahun 2009 tersebut.
Di Indonesia, kedua sistem itu sama-sama pernah digunakan. Sistem tertutup pernah digunakan pada pemilu 1955 dan 1999, sedangkan sistem terbuka pada pemilu legislatif tahun 2009, 2014, dan pada tahun 2019.
Meski memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, menurut Ali, sistem terbuka menjadi sistem yang mendukung adanya aspek demokrasi bagi masyarakat.
“Sistem pemilu terbuka merupakan sistem yang cukup mewakili keterwakilan daerah pemilihan, artinya pemilih ‘setengah’ tahu siapa yang menjadi wakilnya di tingkat legislatif,” ucap pengajar asal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unair itu. (Yul)