SURABAYA, Beritalima.com-
Presiden Prabowo Subianto resmi mengumumkan Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta pada Senin (21/10/2024). Presiden Indonesia ke-8 ini memulai langkah besar dengan memecah sejumlah kementerian dan memperluas struktur kabinetnya.
Keputusan ini menarik perhatian sejumlah pakar politik. Salah satunya dosen ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Ali Sahab S IP M Si.
Ali Sahab, dalam wawancara, memberikan pandangannya terkait pemecahan kementerian ini. Menurutnya, langkah tersebut merupakan bagian dari upaya Prabowo untuk merangkul berbagai kelompok politik dan memastikan stabilitas koalisi.
“Saya kira ini bentuk upaya Prabowo merangkul semua kelompok. Dampak positifnya stabilitas politik relatif stabil, dampak negatifnya gemuknya kursi menteri berdampak pada anggaran dan potensi konflik internal,” jelasnya.
Kabinet Merah Putih terdiri dari 48 menteri dan 56 wakil menteri. Jumlah ini menjadikannya kabinet tergemuk sejak era Orde Baru hingga Reformasi.
“Saya kira Kabinet Merah Putih cenderung gemuk. Misal, Kemenristekdikti yang dipecah menjadi tiga, kesan yang tampak lebih mencarikan posisi partai koalisi,” terang Ali Sahab.
Jumlah kementerian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Undang-undang ini membagi kementerian dalam tiga kelompok, kementerian fungsional, kementerian pendukung utama, dan kementerian koordinator.
Namun, setelah undang-undang ini direvisi pada pada September lalu, batasan jumlah kementerian dihapus. Sehingga presiden memiliki fleksibilitas penuh untuk menambah kementerian sesuai kebutuhan politik atau ekonomi. Hal ini memungkinkan jumlah kementerian menjadi tidak terbatas.
Ali Sahab juga menyoroti tantangan anggaran yang akan muncul seiring bertambahnya jumlah kementerian.
“Dengan kondisi keuangan APBN yang semakin berat ke depannya, sebaiknya penghematan perlu dilakukan,” ujarnya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa pemecahan kementerian dapat menyebabkan kewenangan yang tumpang tindih. Sehingga bisa mengurangi efektivitas pemerintahan.
“Saya melihat ada beberapa kementerian yang kewenangannya tumpang tindih. Sehingga kurang efektif dalam kerjanya,” jelasnya.
Secara politik, Ali Sahab menilai langkah ini sebagai upaya Prabowo untuk memberikan ruang kepada partai-partai koalisi. Sehingga semua kelompok merasa terwakili dalam pemerintahan.
Namun, ia juga mengingatkan pentingnya kontrol dalam demokrasi.
“Pemecahan kementrian ini untuk memberikan ruang kelompok koalisi. Prabowo ingin semua pihak bersatu dalam membangun bangsa. Namun, dalam konteks demokrasi kontrol itu penting untuk meluruskan jika ada kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat,” tambahnya.
Keputusan Prabowo untuk memperbanyak kementerian dan menambah posisi wakil menteri merupakan langkah yang berani.
Pada akhirnya, efektivitas pemerintahan tidak hanya bergantung pada jumlah menteri. Akan tetapi, juga pada bagaimana mereka bekerja untuk kepentingan rakyat.(Yul)