SURABAYA, Beritalima.com |
Kasus yang melibatkan perusahaan teknologi raksasa asal China, Alibaba Group Holding Ltd baru-baru ini mendapat sorotan dari masyarakat. Pasalnya perusahaan besutan Jack Ma tersebut merupakan e-commerce terbesar di dunia dan memiliki pangsa pasar yang amat besar.
Mengulik sisi lain dari kasus yang menjerat perusahaan ini, Dr. Miguel Angel Esquivias Padilla IE., M.SE sebagai salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan bahwa pasar masih berada dalam otoritas pemerintah.
“Perusahaan sebesar Alibaba pun masih harus taat akan aturan yang ada,” ungkap konsultan di bidang Ekonomi Perdagangan dan Keuangan Internasional tersebut.
Alibaba telah mengakuisisi sejumlah start-up di China, baik dengan tujuan memperluas bisnis atau untuk memblokir pesaing.
Mengingat ini adalah pertama kalinya pihak berwenang menjatuhkan sanksi semacam ini, maka tidak menutup kemungkinan adanya regulasi lain yang muncul secara berangsur-angsur.
Adanya aturan dan sanksi tersebut bisa memperlihatkan adanya keterlambatan dari sisi regulasi. Namun hal ini dianggap baik dari segi perkembangan perusahaan rintisan.
“Regulasi yang masih longgar saat itu, mampu menciptakan start-up yang kini menjadi perusahaan raksasa seperti Alibaba,” jelasnya.
Diketahui sebelumnya bahwa Alibaba telah berinvestasi pada start-up di Indonesia. Seperti DANA, Tokopedia, dan lainnya. Namun menurut dosen kelahiran Mexico tersebut, kasus ini tidak akan berimbas terhadap start-up di Indonesia yang berafiliasi dengan Alibaba.
Di indonesia sendiri, bisnis e-commerce masih dalam tahap pengembangan yang berada jauh di belakang negara China.
“Namun, dengan peningkatan akses dan pengguna internet yang tinggi, maka tidak menutup kemungkinan start-up di Indonesia akan memiliki kesempatan memperluas pasar seperti yang dilakukan oleh Alibaba,” tandasnya.
Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan lebih banyak inovasi di Indonesia, tidak hanya platform digital, keuangan dan logistik, namun juga oleh vendor dan pembeli.
“Penggabungan, konsolidasi, dan ekspansi sedang berlangsung di pasar Indonesia, tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat daripada di China. Itu merupakan hal yang wajar karena pasar yang dimiliki oleh dua negara ini berbeda, sehingga tidak memiliki pembanding yang tepat,” pungkasnya.
UNAIR sebagai universitas terbaik di Indonesia mendorong seluruh civitas akademika untuk selalu berwawasan dan berdaya saing global. (Yul)