Oleh:
Rudi S Kamri
Lebih dari 1,5 tahun negeri ini disasar pandemi Covid-19. Semua sisi kehidupan masyarakat langsung ambruk. Ketahanan kesehatan turun di titik nadir, ekonomi terpuruk dan daya beli sebagian besar rakyat otomatis remuk. Saya yakin kondisi ini juga dialami oleh semua negara seluruh dunia.
Saya tidak tertarik membahas isu bahwa virus ini adalah biologycal weapon atau virus yang bermutan secara alami atau teori konspirasi yang lain. Apapun penyebabnya, secara faktual virus itu ada dan telah memakan jutaan jiwa manusia di bumi. Satu hal yang saya percaya, mungkin ini salah satu cara Tuhan untuk me”resetting” bumi ini agar lebih ‘clear & clean’ dan manusianya “tansah eling lan waspodo” (selalu ingat dan waspada).
Pandemi Covid-19 adalah ujian. Bukan hanya ujian bagi manusia tapi ujian bagi para penguasa negara. Para penguasa diuji, bagaimana mereka membuat ‘roadmap’ dalam menangani keadaan darurat ini. Pimpinan negara juga diuji, apakah mereka punya ‘kontigensi-plan’ apabila keadaan bencana datang secara tiba-tiba. Kecerdasan dan kecerdikan para Kepala Pemerintahan diuji, apakah mereka “tanggap-tanggon-trengginas” (Cerdas dan peka, tahan uji dan bermental baja, bergerak cepat dan tepat) dalam menghadapi persoalan yang datang?
Bagi para pemimpin, niat baik saja tidak cukup. Niat baik harus dibarengi dengan kecerdasan dalam mengambil kebijakan dan keputusan. Konsistensi dalam menjalankan kebijakan juga salah satu indikator, apakah seorang Pemimpin Negara mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership skill) yang mumpuni atau tidak.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Presiden Jokowi sudah menunjukkan niat yang luar biasa baik untuk menuntaskan kasus pandemi Covid-19. Namun harus diakui peta jalan Pemerintah dalam upaya penuntasan kasus pandemi Covid-19 seperti bongkar pasang atau terkesan ‘trial n error’. Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diketuai Kepala BNPB kemudian digantikan dengan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN) yang dipimpin Menko Perekonomian, dimana peranan Gugus Tugas direduksi menjadi Satuan Tugas. Dalam program di masyarakat awalnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemudian diganti program Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro dan sekarang diterapkan PPKM Darurat. Menunjukkan betapa Pemerintah terlihat kebingungan dalam menghadapi bencana ini.
Pemerintah terlihat gagap menghadapi “pagebluk” (pandemi) yang luar biasa dasyat ini. Saya pribadi sangat maklum. Kegagapan yang dialami Presiden Jokowi saya yakin juga dialami seluruh pemimpin dunia. Memang tidak mudah. Ini harus diakui. Apalagi menghadapi masyarakat Indonesia yang sedang sindrom euforia bermain media sosial. Kritik kepada Pemerintah banjir seperti air bah. Ada yang mengkritik dengan memberikan solusi, ada yang asal “njeplak”, ada yang didasari kebencian yang tak kunjung padam dan ada yang memainkan isu pandemi untuk kepentingan pencitraan politik dan mencari panggung. Ini realita dinamika harus diterima oleh Presiden Jokowi saat ini.
Cilakanya Teamwork yang dibentuk Presiden Jokowi seperti compang-camping. Tidak terbentuk orkestrasi kerja yang harmoni. Semua anggota Tim suka-suka memainkan alat musiknya. Jadi iramanya gak karu-karuwan. Dirigen yang ditunjuk Presiden Jokowi saat awal pandemi seolah kebingungan. Dari awal saya teriak, seharusnya dari awal pandemi datang, harusnya Presiden Jokowi langsung menunjuk Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai Panglima Perang bukan yang lain. LBP punya kualitas dan kapabilitas yang mumpuni untuk bertindak sebagai dirigen sekaligus Panglima Perang.
Saat LBP ditunjuk sebagai Panglima Perang di masa PPKM Darurat yang masa kerjanya hanya beberapa hari, menurut saya sudah terlambat. Yang terjadi hasil capaiannya tidak maksimal. Musuh terlanjur merajalela kemana-mana. Ditambah kaum penjahat kemanusiaan yang menyaru jadi pengusaha daan mafia serta berbaju pejabat terlanjur mapan menciptakan kartel dan mafia menengguk keuntungan dari bencana nasional ini. Rakyat yang sudah jengah jadi korban pandemi juga sudah mulai muak melihat permainan mafia obat, mafia alat pemeriksaan Covid-19 sampai mafia oksigen untuk kesehatan yang bermain bebas terang benderang di depan mata tanpa ada tindakan serius dari Negara. Itulah kondisi ‘colateral damage’ ini yang dihadapi LBP saat ini.
Rakyat sudah mulai marah, saat dana bansos digunakan sebagai bancakan Menteri dan oknum-oknum elit politik. Disamping itu ada permainan di Rumah Sakit sampai di pekuburan. Ini yang dialami rakyat sehari-hari. Jadi saat para pejabat berteriak-teriak rakyat harus disiplin, kerja dari rumah, belajar dari rumah, rakyat juga berteriak-teriak,:
“Lalu kami makan apa, Pak Pejabat?”
“Pak Pejabat enak, tetap menerima gaji dan tunjangan, tidak ada ancaman PHK, ada peluang korupsi, kalau kami?”
“Kami bisa terapkan 5M untuk menghindari Covid-19, tapi kami tidak punya cara untuk menghindari kelaparan, bayar listrik, susu buat anak, bayar cicilan dan kontrakan”.
Ini dilema besar buat Presiden Jokowi.
Saran saya rombak total untuk terakhir kali organisasi penanganan Covid-19. Biarlah LPB tetap menjadi Panglima Perang. TIDAK PERLU ada program PPKM Darurat. Laksanakan PPKM Mikro di setiap komunitas atau kluster. Biarlah rakyat tetap bergerak tapi terbatas dan terkendali dengan tetap menjalankan Protokol Kesehatan yang ketat. Saat rakyat bergerak, ekonomi akan beranjak bergerak juga. Rakyat tidak menuntut dihidupi, rakyat Indonesia penuh permakluman, karena rakyat tahu keuangan negara saat ini tidak memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan rakyat secara merata.
LPB biarlah fokus memimpin kegiatan 3T (Tracking-Testing-Treatment) dan vaksinasi massal sambil menggebuk gerombolan mafia pandemi yang sudah terlanjur merajalela. Pejabat lain jangan ikutan berkomentar di ruang publik, apalagi yang tidak berkemampuan membangun komunikasi publik seperti Muhajir Effendi Menko PMK, sekali komentar langsung runyam jadinya. Jangan ada lagi program aneh-aneh seperti vaksin berbayar dan lain-lain yang berpotensi menjadi polemik gaduh di ruang publik. Satu komando di bawah LPB yang bertanggungjawab kepada Presiden. InsyaAllah tuntas pandemi ini segera.
Untuk menangani kaum penari di atas gelombang pandemi, itu urusan kami yang akan menggebuk mereka. Urusan Rocky Gerung, Rizal Ramli, AHY, Ibas, SBY dan kroni-kroninya, cukup menjadi urusan kroco-kroco seperti saya dan teman-teman perjuangan saya. Akan kita hadapi mereka dengan becanda dan cara sederhana. Karena pasukan perang kami adalah mayoritas rakyat Indonesia yang berakal sehat dan waras. Jadi Pejabat Negara tidak repot-repot merespons mereka.
So, tulisan ini hanya sekedar refleksi dan saran konstruktif kepada Pemerintah dan Presiden Jokowi. Saya yakin tulisan sederhana ini akan sampai ke Presiden Jokowi. Karena beliau tahu saya tidak punya intens apa-apa kecuali Menjaga Indonesia. Bagi pendukung Presiden Jokowi, kita satu pihak, karena sayapun juga mendukung Pemerintah yang sah dan konstitusional. Jadi kita tidak perlu alergi dan baperan menghadapi masukan dan kritikan ya……
Kalau kita baperan, apa bedanya kita dengan Klan Cikeas ? Iihhhh….amit-amit.
Salam SATU Indonesia
18072021