Panggilan Sidang (Perdata) ‘Secara Manual’, Kapan Kita Akhiri?

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Dalam dunia hukum sudah sangat dikenal adagium obi societies ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Pernyataan yang diungkapkan oleh Cicero itu masih terasa up to date sampai sekarang. Hanya saja ketika hukum telah diambil alih oleh negara–yang dibuat oleh otoritas yang berwenang dalam bentuk hukum tertulis–sering tertinggal dari perkembangan masyarakat dengan dinamika lingkungan yang menyertainya. Hal demikian telah pula diingatkan oleh Paul Scholten, bahwa hukum akan senantiasa tertatatih-tatih mengejar ketertinggalanya akibat kemajuan zaman.

Dalam konteks dunia hukum positif, biasanya hukum selalu dibagi dalam 2 rumah besar, yaitu hukum materiil dan hukum formil. Hukum materiil pada pokoknya berisi segenap norma yang mengatur hubungan antar individu terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban. Sedangkan, hukum formil pada pokoknya berisi tentang aturan mengenai cara menegakkan hukum materiil ketika terjadi sengketa antar individu. Kedua-duanya, dalam konteks perkembangan zaman, sama-sama dapat mengalami keusangan tersebut. Hanya saja, dalam praktik keusangan hukum materiil, dalam konteks penegakan hukum, rekatif lebih mudah diatasi. Dengan kapasitas dan fungsinya, hakim biasanya relatif lebih mudah mencari solusi hukum. Solusi hukum tersebut misalnya mengisi kekosongan hukum dengan metodologi tertentu seperti membuat hukum (dalam putusan) dan interpretasi hukum.

Akan tetapi, ketika yang mengalami ketertinggalan tersebut menyangkut hukum formil, maka tidak demikian haknya. Hukum formil sering harus dilaksanakan secara apa adanya (rigid). Karena sifatnya yang demikian hukum formil ini menuntut para penegak hukum agar seratus persen menguasai. Kualitas dan kuantitas penguasaan ini dimaksudkan agar para hakim tidak salah menerapkannya ketika menghadapi kasus riil yang sedang dihadapi. Sebab, hukum formil pada hakikatnya merupakan sebuah aturan main. Ketidakkonsistenan penegakan aturan main akan membuat carut marut penegakan hukum meteriil. Itulah sebabnya, kesalahan penerapan hukum formil dalam dunia penegakan hukum, lebih akan berakibat fatal ketimbang kesalahan dalam penerapan hukum materiil.

Dalam koneks eksistensi masyarakat beserta dinamika zaman yeng menyertainya kini banyak hukum formil memang telah mengalami keusangan. Bahkan, sebagian dinamika tersebut ada yang belum terjawab oleh hukum formil yang ada. Lahirnya berpuluh-puluh surat edaran mehkamah agung, selain merupakan pengakuan atas kebenaran sinyalemen itu, juga merupakan upaya untuk menutup kekosongan atau menutup kekurangan hukum formil yang ada selama ini.

Panggilan Sidang Perkara Perdata
Cara pemanggilan sidang terutama dalam hukum perdata formil adalah salah satu yang saat ini perlu dibuat aturan baru agar sesuai dengan kekinian zaman yang terjadi. Selama ini, sesuai aturan yang ada, tentu kita harus menyepakati bahwa setelah seseorang mendaftar perkara, maka kedua belah pihak harus dipanggil. Panggilan kepada pihak penggugat pada umumnya relatif tidak mengalami kendala. Sebagai pihak yang berkepentingan memperoleh keadilan, penggugat pasti akan menghindari semua hambatan yang berkaitan dengan kemungkinan kesulitan, ketika petugas akan memanggilnya. Penggugat pun sering relatif tidak mempermasalahkan, apakah panggilan telah dilakukan dengan ‘benar’ atau ‘tidak’. Yang penting bagi pihak penggugat biasanya tahu kepastian kapan sidang dilaksanakan. Hal demikian sering tidak berlaku bagi Tergugat. Problem yang sering dialami oleh juru panggil sertidaknya menyangkut 2 hal. Pertama, alamat yang disebut Penggugat sering tidak sesuai dengan yang ada di lapangan senyatanya. Kedua, jangka waktu memanggil dengan hari sidang yang sempit. Di pengadilan yang ramai sering seorang jurusita sekali berangkat harus membawa lebih dari sepuluh surat penggilan. Ketika problem pertama dijumpai, seorang jurusita sering tidak mempu menyelesaikan pemanggilan yang harus dilaksanakan. Hal ini terjadi akibat adanya aturan sebuah penggilan harus “berkualifikasi sah”. Sebuah panggilan dikualifikasikan sebagai panggilan sah, apabila dilakukan secara “resmi” dan “patut”. Para ahli hukum pada umumnya berpendapat, suatu panggilan sudah dilakukan secara resmi apabila dilakukan oleh petugas yang berwenang, dalam hal ini jurusita/jurusita Pengganti. Sedangkan panggilan telah dilakukan secara patut, apabila para pihak dipanggil dalam interval waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini jarak pelaksanaan pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 3 hari (dalam perkara perceraian 3 hari kelender dan dalam perkara non perceraian 3 hari kerja).

Akan tetapi, terlepas dari ‘kemudahan’ memanggil Penggugat dan/ atau Tergugat tersebut, cara pemanggilan konvensional tersebut tampaknya harus segera diakhiri. Memanggil pihak berperkara dengan mengutus petugas pengadilan ke lapangan, selain berkonsekensi berbagai risiko, juga sering harus berbiaya mahal atau tidak sedikit. Pada pengadilan tertentu, problem biaya penggilan ini selain menyulitkan petugas tentu juga sangat menyulitkan Penggugat dalam hal keuangan. Jika hal ini terjadi, di samping stigma “bersengketa di pengadilan sangat mahal” terbukti adanya, yang lebih penting berentangan dengan salah asas peradilan yaitu sederhana cepat dan biaya ringan. Oleh karena itu sistem pemanggilan manual, yang terkesan sangat primitif dari sisi perkembangan teknologi, ini perlu segera diakhiri. Lantas dengan apa dan bagaimana?

Saat ini hampir semua orang ‘memelihara makhluk’ bernama smartphone (tilpon pintar). Di dalamnya terdapat sejumlah aplikasi bawaan yang sebenarnya memberikan kemudahan manusia, termasuk praktik dunia peradilan. Di antara aplikasi yang sangat dimungkinkan dapat membantu praktik peradilan, misalnya: seperti aplikasi WhatsApp (WA). Aplikasi ini oleh penemunya Jane Kaun sengaja dirancang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan pihak lain dengan suara, gambar, videocall, mengirim pesan tulisan, foto, video, dan sebagainya.

Konteksnya dengan pemanggilan pihak, cara menggunaannya ialah bisa ditempuh dengan langkah-langkah antara lain:
Pertama, seorang yang mendaftar, selain harus mencantumkan nomor handpone (HP) yang masih aktif juga harus bisa memperoleh nomor HP Tergugat atau keluarga dekatnya yang masih aktif. Dengan nomor itu pula para pihak akan dipanggil. Sampai tidaknya panggilan tersebut kepada para pihak, saat ini teknologi sudah bisa melacaknya. Kalau tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak diketahui alamatnya di seluruh wilayah RI, dan dipanggil menurut cara “panggilan perkara ghaib”.

Kedua, oleh karena menyangkut hukum formil perlu terlebih dulu dibuat aturan sebagai payung hukumnya. Dalam hal ini, sebelum terbit hukum acara perdata modern, kita tentu mengharapkan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Selama yang menyangkut perkara yang belum ada aturannya atau mengenai aturan yang sudah usang lainnya, Mahkamah Agung–dengan kapasitas kewenanagan yang dimiliki, leluasa menerbitkannya. Dan, ternyata kedua jenis produk hukum internal Mahkamah Agung tersebut kini selain telah berhasil mendobrak kemampanan hukum yang dianggap telah tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, juga sangat dipatuhi oleh lembaga peradilan di bawahnya.

Oleh karena hambatan pemanggilan ini saat ini di samping telah menjadi problem tersendiri juga telah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi, maka tentu juga perlu mendapat respon seperti persoalaan hukum lainnya. Kalau hal tersebut bisa diwujudkan, paling tidak ada 3 keuntungan yang dicapai, yaitu:
Pertama, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan akan secara nyata dapat dicapai, khususnya dalam hal pemanggilan. Tidak sebagaimana selama ini terjadi. Harus ada item pengeluaran panjar untuk biaya pemanggilan ang dalam praktik menyebabkan jalannya peradilan tidak efisen. Apalagi ketika pemanggilan tersebut harus dilakukan berkali-kali.
Kedua, petugas juru panggil yang pada umumnya tidak melaksanakan tugas tersebut, akan lebih dikonsentrasikan kepada tugas lain yang jauh lebih penting, misalnya dalam hal penyitaan dan eksekusi dengan segenap disiplin ilmu yang harus dimiliki.

Ketiga, dengan menghapuskan pemanggikan konvensional ( secara manual dan terkesan primitif itu ), dengan apa atau bagaimana pun caranya, maka kriteria pengadilan moderen dan berkelas dunia sebagaimana yang selama ini digaungkan, akan terlihat lebih lengkap. Semoga.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait