BERITALIMA.COM– Empat kemungkinan Kepala Daerah baik gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati maupun walikota/walil walikota beramai-ramai menjadi juru kampanye (jurkam) pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Amin) untuk pemilihan presiden/wakil presiden, 17 April 2019.
Hal itu diungkapkan pengamat politik Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago dalam diskusi bertema ‘Etika Politik Kampanye Kepala Daerah’ dengan awak di Press Room DPR RI, Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/9).
Diskusi yang diselenggarakan Humas dan Biro Pemberitaan MPR selain menampilkan Pangi sebagai nara sumber juga menghadirkan pembicara dua anggota MPR yakni Nasir Jamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Irma Suryani Chaniago dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Dikatakan Pangi, pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta tersebut, ada empat kemungkinan kepala daerah beramai-ramai dan terang-terangan menyatakan diri menjadi tim kampanye calon presiden patahana, yaitu mencari muka, tekanan politik atau karena kinerja presiden yang tidak baik atau sebaliknya.
Menurut laki-laki kelahiran Buluh Rotan, Sijunjung, Sumatera Barat tersebut, fenomena kalau dilihat dari segi etika politik sangat tidak baik karena kepala daerah ini sebetulnya tidak baik dari segi etika.
Soalnya, ulang tenaga pengajar ilmu politik Universitas Al Azhar, Jakarta itu, karena begitu terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah yang bersangkutan sudah harus meninggalkan statusnya sebagai wakil partai politik. “Dia itu sudah milik masyarakat di daerah yang dia pimpin,” kata Pangi.
Memang, lanjut Pangi, dari segi aturan atau undang-undang pemilu, tidak ada yang dilanggar bila kepala daerah menjadi juru kampanye patahana, tetapi dari segi fatsun politik jelas yang bersangkutan tidak baik dan tidak netral.
“Lebih elegan jika kepala daerah itu menjadi juru kampanye patahana secara diam-diam. Itu lebih efektif dan bermartabat ketimbang menyatakan sebagai juru kampanye salah satu pasangan secara terbuka. Kalau terbuka justru bahaya untuk masa depan kariernya di bidang politik karena dinilai tak netral dan tidak akan pilih rakyat pada masa berikutnya,” papar Pangi.
Apakah mencari muka? Bisa jadi iya supaya dia aman selama menjabat kepala daerah. Apakah berada di bawah tekanan? Bisa jadi juga iya, karena dalam pola pikir politik stuktur pemerintah itu adalah dari pusat hingga daerah.
Atau apa karena kepemimpinan presiden saat ini bagus dan atau sebaliknya. “Apapun itu kondisinya, masalah fatsun politik dan demokrasi harus ditegakkan,” ungkap Pangi.
Nasir malah mengatakan, boleh saja kepala daerah menjadi Tim kampanye patahana asalkan cuti dan tak mengunakan fasilitas negara dan kekuasaan mempolarisasi publik.
Sebetulnya, ungkap politisi senior PKS dibidang keamanan dan penegakan hukum ini, ada tiga pandangan masyarakat politik tentang kepala daerah menjadi tim kampanye yakni setuju sebebas-bebasnya, tidak setuju dan setuju dengan syarat,” kata dia.
Terlepas dari itu papar dia, sebaiknya kepala daerah berkampanye tidak bepihak. Dia harus tampil dan berlaku seadil-adilnya, karena dia bukan lagi milik partai. Tetapi milik masyarakat yang dia pimpin. Hal penting lagi, dalam berkampanye, kepala daerah harus edukatif agar kulaitas demokrsi semakin hari semakin baik.
“Saya menyarakankan ada kampanye edukatif dilakukan kepala daerah untuk mencerdaskan rakyat, sehingga mereka memilih berdasarkan sebuah kesadaran, bukan karena mobilisasi,” papar Nasir.
Karena itu, lanjut wakil rakyat dari Dapil Provinsi Aceh I tersebut, sebaiknya kepala daerah tidak perlu berkampanye, naik panggung, pergi ke sana ke mari. “Cukup secara terus menerus melakukan edukasi agar demokrasi kita tumbuh menjadi demokrasi substansial.”
Dikatakan, merujuk kepada sumpah dan janji kepala daerah, tidak ada dalam sumpah itu yang menyebutkan bahwa kepala daerah harus mendukung calon presiden parpol yang mengusung dia menjadi kepala daerah.
Yang ada, kepala daerah bersumpah dan berjanji kepada Allah Yang Maha Esa untuk memegang sumpah dan janji dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya dalam menjalan tugas seadil-adilnya.
“Kemudian memegang teguh Pancasila, UUD 1945 dan peraturan-peraturan lainnya selurus-lurusnya serta berbakti kapada masyarakat nusa dan bangsa,” papar Natsir
Dengan alasan itu, jika dia berkampanye untuk salah satu pasangan calon presiden, berarti dia telah menciderai sumpahnya. Pada sisi lain, dia juga berhutang budi kepada parpol yang menjadikan dia kepala daerah.
“Jadi, yang perlu dilakukan kepala daerah adalah berlaku adil seadil-adilnya, karena dia bukan lagi milik parpol tetapi milik masyarakat yang dia pimpin,” demikian Nasir Jamil. (akhir)