Oleh : Hersubeno Arief
Brigjen TNI (Purn) Mazni Harun berdiri dalam posisi sikap sempurna di atas panggung, sambil memberi hormat. Di bawah panggung Kopral Kepala (Kopka) TNI (Purn) Haryanto, membalasnya memberi hormat.
Adegan “janggal” itu berlangsung di garasi Perusahaan Otobus (PO) Haryanto di pinggiran Kota Kudus, Rabu sore (7/8).
Seorang jenderal memberi hormat seorang kopral —kendati sudah sama-sama pensiun—di luar sebuah kelaziman tradisi militer.
Mazni mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI mengaku pantas memberikan penghormatan itu. “Haryanto ini orang yang luar biasa,” ujarnya.
Dia sangat terharu dan bangga bisa mengajak sejumlah purnawirawan bersilaturahmi dengan Haryanto. Salah satunya Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin yang pernah menjadi atasan Haryanto di Kodam Jaya.
Kopral Haryanto pemilik PO Haryanto adalah mantan anak buah Mazni saat dia menjadi Komandan Batalyon Arhanud 1/1 Kostrad di Serpong Tangerang (1990-1993).
Bukan karena Haryanto kini telah menjadi orang sukses, harta kekayaannya melebihi para jenderal. Namun perjuangan dan sikap hidupnya, memang pantas mendapat penghormatan. Bukan hanya dari Mazni.
Sejumlah pensiunan perwira tinggi yang hadir di tempat itu juga menyatakan salut dan respeknya terhadap Haryanto. “Jarang orang kaya yang sangat dermawan dan pemurah seperti pak Haryanto, “ ujar mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat.
Cerita tentang Haryanto adalah perpaduan antara kegigihan, keuletan, dan keteladanan.
Dalam bahasa anak-anak milenial sekarang, Haji Haryanto adalah pengusaha startup yang suskes dan tumbuh besar. Dia juga seorang philantropis, dermawan.
Lahir sebagai anak ke-6 dari 9 orang bersaudara, Haryanto anak seorang petani miskin. Ketiadaan biaya membuatnya gagal meneruskan studinya di STM.
Bermodal ijazah Sekolah Teknik (ST), setingkat SLTP, dia kemudian melamar menjadi prajurit ABRI. Dia beruntung diterima menjadi anggota ABRI dengan pangkat paling rendah, Prajurit Dua.
Tugasnya menjadi sopri truk mengangkut alat-alat berat, meriam, dan logistik untuk pasukan.
Semangatnya membara untuk mengubah nasib membuat Haryanto mencari penghasilan tambahan selepas dinas. “Saya menjadi sopir omprengan dengan trayek Serpong ke Kota Tangerang,” ujarnya.
Dari hasil menabung, dia kemudian bisa membeli angkot. Jumlah angkotnya terus bertambah, sampai mencapai 50. Pangkatnya prajurit, tapi sudah jadi juragan angkot.
“ Saya ingat pada tahun 90-an itu Haryanto menyunatkan anaknya dengan mengundang dalang Ki Mantep Sudarsono. Acara digelar di alun-alun Tangerang. Bayarannya kalau gak salah waktu itu sudah Rp 50 juta,” ujar Mazni.
Dari Batalyon Arhanud I, Haryanto dimutasi ke Kodam Jaya. Pangdam Jaya saat itu Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin teman satu angkatan Mazni Harun (Akabri 1974).
Karena bisnisnya terus membesar, Haryanto akhirnya memutuskan pensiun dini. Dia pensiun pada tahun 2.002 pada usia 43 tahun.
Dengan modal kucuran dari BRI sebesar Rp 3 miliar, Haryanto membeli 6 armada bus. Usahanya hampir bangkrut ketika krisis ekonomi melanda tahun 2007-2008.
Dia terlilit utang ke BRI sebesar Rp 27 miliar. Namun setelah dijadwal ulang pembayarannya, dia mendapat keringanan selama 5 tahun. Dengan bantuan *Bank Nagari*(Milik Pemprov Sumatera Barat), dalam waktu 3 tahun utang itu berhasil dilunasi.
Usahanya terus tumbuh. Kini dia memiliki 250 armada bus. Terdiri dari bus pariwisata dan bus angkutan kota antar provinsi (AKAP).
(Sangat memuliakan anak yatim dan ibunda)
Cerita tentang Haryanto tidak hanya berhenti pada keberhasilannya menjadi juragan perusahaan bus, sejumlah restoran, dan pom bensin. Apa yang dilakukannya dengan kekayaan itu justru jauh lebih menarik.
Dia menggunakan kekayaannya untuk membantu orang lain dan menebar kebaikan.
Dia menampung sejumlah temannya, termasuk para pensiunan tentara, bekerja di perusahaannya. Seorang karyawannya ada yang pensiunan perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel.
Haryanto saat ini mengurus dan menyantuni 4.000 anak yatim. Dia juga membiayai para hafidz penghafal Al Quran di beberapa pesantren.
Setiap tahun dia memberangkatkan puluhan orang, termasuk para karyawannya umroh dan haji. Haryanto juga banyak membangun masjid.
Secara personal Haryanto dikenal sebagai pribadi sederhana dan soleh. Dia selalu mengajak karyawannya untuk salat berjamaah lima waktu.
Sebuah spanduk di garasi armada busnya bertuliskan sebuah pesan : *Apabila Hidupmu Susah. Tengoklah Sudah Benarkah Salat Berjamaahmu?*
Haryanto juga menjalankan puasa sunah yang sangat jarang dilakukan orang. Puasa Dalail Khairat.
Puasa sunah yang dilakukan setiap hari sepanjang tahun. Puasa ini dilengkapi dengan membaca salawat nabi dari kitab Dala’il Al Khairat yang ditulis seorang tokoh sufi asal Maroko Imam Al Jazuli.
Puasa semacam ini banyak diamalkan oleh santri di Pondok Pesantren Darul Fallah 3 Jekulo, Kudus dan beberapa pesantren lain di Jawa.
Selain salat berjamaah tepat waktu, dan puasa dalail, Haryanto punya satu amalan lagi yang menjadi satu kunci keberhasilannya. Dia sangat memuliakan Ibunya.
Dia sering terlihat mengendong ibunya, kendati dalam usia 90 tahun masih sangat sehat.
Keuletan, kedermawanan, dan sikapnya yang memuliakan anak yatim dan ibunda menjadi kunci sukses Haryanto.
Dia pantas mendapat penghormatan bukan hanya dari para purnawirawan petinggi militer, mantan atasannya, namun juga dari kita semua. End