Oleh:
Notrida Mandica,
Anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar
Keputusan DPP Partai Golkar memecat Ahmad Doli Kurniawan, aktivis Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) yang menuntut pengunduran diri Setya Novanto terkait kasus mega korupsi e-KTP, menimbulkan tanda tanya di kalangan kader.
Mengapa ditengah konsolidasi demokrasi, masih ada partai yg mempraktekkan budaya otoritarian?. Mengapa perbedaan pendapat di kalangan intelektual politisi muda dibungkam melalui pemecatan?
Padahal prinsip demokrasi adalah menghargai perbedaan pendapat dan memberi ruang bagi kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Tindakan DPP PG tentu akan menjadi bumerang bagi pertumbuhan demokrasi di negara ini.
Pemimpin partai tidak menunjukkan keberpihakan pada prinsip-prinsip demokrasi dan memenjarakan kebebasan berfikir dan mengutarakan pendapat di kalangan generasi muda.
Tindakan ini sangat bertentangan dengan prinsip reformasi politik. Ketika Presiden Suharto dilengserkan 1998, salah satu tuntutan para reformer saat itu menuntut pemerintah untuk membuka keran kebebasan berpendapat dan keterbukaan dalam praktek pemerintahan.
Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi selaiknya mendukung proses konsolidasi demokrasi Sistem Politik Indonesia.
Bukan sebaliknya, partai malah menumbuhkan kembali praktek otoritarian yang menakut nakuti para kadernya menyuarakan kritik perbaikan bagi partainya.
Ketua Dewan Pakar DPP PG, Agung Laksono dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan dengan praktek pemecatan kader oleh pimpinan DPP PG.
Sebab PG membutuhkan lebih banyak kader militan, bukan bertindak sebaliknya yang dapat menjauhkan para kader.
Oleh karena itu, seharusnya budaya pecat ini segera ditangani oleh DPP Partai Golkar agar tidak menciptakan kebijakan yang merapuhkan PG sebagai organisasi dan dalam jangka panjang menghancurkan konsolidasi demokrasi di negara ini. *