Jakarta, beritalima.com| – RAJA panggung itu bernama Rocky Gerung. Ia kini pemilik kata “dungu”. Dicomotnya kata itu dari kamus, hingga orang lain grogi menggunakan kata itu lagi. Ia memilih kata dungu, selain bodoh.
Raja panggung berikutnya adalah seorang petinggi negeri, yang boleh jadi karena kegeramannya pada situasi politik kiwari, terlanjur memakai diksi, “ndasmu”, yang kini mubal kemana-mana.
Sejatinya ini bukan sekedar soal diksi atau pilihan kata. Laksana magma yang tersumbat di kepala. Sehingga, dungu atau ndasmu, lalu meledak begitu saja, menjadi lahar panas di tengah-tengah masyarakat.
Dua kata itu, dianggap kasar di telinga. Tak sopan. Tak patut. Meski banyak kosakata yang lebih kasar dari itu, beredar. Bisa dibayangkan, jika dua kata itu dibubuhi kata rezim di depannya, jadilah “rezim dungu” atau “rezim ndasmu”. Nasi telah menjadi bubur. Apapun itu, “mulutmu, harimaumu”.
Meski boleh pinjam sebentar, istilah Gus Dur, “Gitu aja kok repot!”. Ya, repotlah! Sebab politik juga menyangkut kearifan. Nilai-nilai luhur. Budi pekerti.
Dungu bukanlah topeng. Ndasmu apalagi. Tapi karena diucapkan oleh pararaton, para pesohor negeri, maka berdampak serius. Meninggalkan semacam residu, dan menjadi bahan olok-olok, omon-omon. Ia telah menjelma menjadi patologi sosial yang berbahaya.
Sepantasnya, dungu tak dipakai Rocky Gerung, ndasmu tak dipakai Pak Prabowo. Sebab bagi Gerung, dungu, terlanjur seperti, sekali lancung ke ujian. Bagi Prabowo ndasmu adalah sabda pandhito ratu.
Pararaton, para petinggi, para peneraju, para pemangku kekuasaan, hati-hati dengan diksi. Meski awalnya hanya bermain kata, tetapi bisa membawa malapetaka. Ini bukan ranah kelirumologi ala Jaya Suprana.
Dungu milik kamus, yang dipilih Rocky Gerung menjadi bahasa berdialektika. Ndasmu, milik publik, boleh jadi tak berkelas, diangkat ke permukaan politik kelas atas. Ingat, “ndasmu kuwi nggone dhuwur” tempatnya di atas. Tempat yang terhormat. Sebab dalam bahasa Jawa krama inggil, kepala itu disebut “mustaka”.
Indonesia, bangsa besar, bangsa yang terhormat. Tak butuh Pararaton bertopeng. Sebab sebagai bangsa kita tidak hanya sudah defisit keuangan, tapi juga defisit keteladanan. Bahasa menunjukkan bangsa. Kita tidak mau disebut bangsa dungu, apalagi bangsa “ndasmu”.
Oleh: Agung Marsudi, Solo 21 Maret 2025




