Oleh :
Rudi S Kamri
Kalau generasi yang berumur 40 tahun ke atas pasti sudah mafhum mengapa dari tadi malam dan hari ini tidak ada satu orangpun dari klan Cendana yang hadir ta’jiyah di kediaman Alm B.J. Habibie di Patra Kuningan atau di TMP Kalibata, Jakarta. Bahkan seorang reporter dari sebuah TV swasta melaporkan tidak ada juga karangan bunga duka cita yang dikirim oleh Keluarga Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie memang mengalami gelombang pasang surut secara dramatis. Sejatinya hubungan pribadi antara Soeharto dan keluarga besar Habibie sudah terjalin sejak Rudy Habibie berumur 14 tahun. Konon sosok Soeharto-lah yang saat itu bertugas di Parepare Sulawesi Selatan yang menutup mata ayahnda Rudy Habibie saat beliau meninggal pada tahun 1950-an.
Hubungan kekeluargaan diantara mereka sempat terputus karena situasi dan kondisi saat itu. Baru terjalin kembali pada tahun 1974 saat Presiden Soeharto mengutus Letjend Ibnu Sutowo (Penguasa Pertamina saat itu) ke Jerman untuk meminta Habibie kembali ke Indonesia untuk mengabdi kepada negeri dengan mengembangkan industri dan teknologi di Indonesia. Awalnya Habibie menjabat Kepala Divisi Advance Technology di Pertamina, lalu menjadi Penasehat Presiden untuk pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia.
Pada tahun 1978 kiprah Habibie menjadi orang terdekat Presiden Soeharto semakin tidak terbendung setelah beliau diangkat menjadi Menteri Riset dan Teknologi dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1998. Disamping itu jabatan lainnya juga dirangkap oleh Habibie mulai Kepala Otorita Batam, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kepala Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) dan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) dan banyak jabatan lainnya. Pendek kata beliau adalah anak emas Presiden Soeharto.
Pada saat Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Indonesia untuk kesekian kalinya pada tahun 1998, Soeharto memilih Habibie untuk menjadi Wakil Presiden menggantikan Try Sutrisno. Namun pada saat itu terjadi gejolak ekonomi dan krisis moneter dunia pada 1997 – 1998 yang berimbas ke Indonesia. Dan celakanya fondasi ekonomi Indonesia sangat rapuh saat itu. Dolar Amerika meroket hingga Rp 17.000, ditambah gejolak demonstrasi mahasiswa yang datang bergelombang tak terhadang, ditambah lagi orang-orang terdekat Soeharto yang dimotori Ginanjar Kartasasmita mengundurkan diri dari kabinet, membuat Soeharto semakin terpuruk dan akhirnya tidak bisa bertahan.
Pada saat Soeharto menyatakan berhenti menjadi Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 dan secara konstitusional harus menyerahkan kepada Wakil Presiden yaitu B.J. Habibie, sebenarnya jelas terlihat Soeharto sangat tidak ikhlas. Soeharto seperti yang dituturkan adik tirinya Probosutejo menginginkan B.J. Habibie juga menyatakan mundur bersama-sama. Soeharto sangat memegang teguh falsafah Jawa yaitu ‘Tiji Tibeh’ yang artinya ‘mukti siji, mukti kabeh, mati siji mati kabeh (mulia satu mulia bersama, mati satu mati bersama juga). Ternyata falsafah Jawa tersebut tidak diikuti oleh Habibie. Dan ini membuat Soeharto sangat kecewa.
Tapi Habibie punya pertimbangan tersendiri. Beliau punya tekad, negara harus punya pemimpin dan harus diselamatkan. Oleh sebab itu beliau berani mengambil alih kepemimpinan negara yang saat itu sedang remuk redam di segala penjuru angin. Hal yang semakin membuat Soeharto kecewa adalah dalam penyusunan kabinet, Habibie banyak menarik kembali orang-orang dulu oleh Soeharto dianggap pengkhianat seperti Ginanjar Kartasasmita, Akbar Tandjung dll. Keputusan Habibie ini semakin mengecewakan Soeharto dan keluarganya.
Dalam perjalanan waktu kepresidenan yang sangat singkat satu tahun lima bulan, Habibie banyak mengambil keputusan ekstrem yang berbeda 180° dengan Soeharto. Diantaranya kebebasan pers, pembubaran Golkar, membuka kran demokrasi dan keputusan lain. Keputusan ini membuat Soeharto nampak semakin buruk di mata rakyat. Apalagi Habibie juga memberi restu pengusutan harta dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Soeharto. Hal ini membuat Soeharto dan keluarganya menutup rapat pintu silaturahmi untuk Habibie.
Bahkan pada saat Soeharto sakit dan dirawat di RSPP Jakarta, Habibie dan Ainun yang datang langsung dari Jerman untuk bezoek, tidak diizinkan masuk oleh anak-anak Soeharto. Sehingga Habibie memutuskan langsung kembali ke Jerman. Luka di dada anak-anak Soeharto semakin nyeri tak terperi pada saat Pilpres 2014 dan 2019 Habibie secara terbuka menunjukkan dukungannya kepada Jokowi sedang Keluarga Soeharto selalu berpihak pada lawan Jokowi. Dan keakraban pribadi Habibie dan Jokowi yang sudah seperti hubungan bapak dan anak semakin membuat keluarga Soeharto semakin terluka dan merana tiada tara.
So, kita jadi maklum dan mengerti apabila tidak ada satupun keluarga Soeharto yang datang menyatakan ucapan duka cita secara langsung kepada keluarga Habibie. Dan gaya baperan akut ini khas dilakukan oleh kelompok orang yang kerdil hati dan memiliki derajat berpikir yang rendah. Seharusnya mereka tidak senaif itu. Seharusnya mereka bisa memilah-milah mana masalah politik dan mana ranah etika dan kesantunan sosial.
Tapi saya tahu kualitas mereka belum sampai ke titik itu.
Salam SATU Indonesia
13092019