SURABAYA, Beritalima.com |
Pernikahan merupakan salah satu momen sakral bagi satu pasangan yang telah matang secara fisik dan mental untuk menjalin kehidupan berkeluarga. Sayangnya, masih banyak dari mereka yang belum mengetahui seluk beluk pernikahan dengan tepat, sehingga seringkali pernikahan diikuti oleh ketidaksiapan keduanya dalam memulai rumah tangga.
Dosen Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Tri Kurniati Ambarini, M.Psi., Psikolog mengungkapkan bahwa dalam hubungan pernikahan pasangan suami istri pasti akan mengalami fase dinamis yang seringkali mampu mengganggu hubungan mereka. Untuk itu, diskusi dan penyesuaian sebelum pernikahan dianggap penting untuk mencegah konflik dan menjaga kelanggengan rumah tangga.
Setidaknya, terdapat empat poin yang harus diperhatikan dan didiskusikan pasangan sebelum menikah menurut kacamata psikologis.
Dalam keluarga, terdapat peran suami dan istri dengan identitas masing-masing yang mungkin saja berbeda maupun berubah ketika sudah menikah. Maka dari itu konflik seringkali muncul saat salah satu maupun keduanya memiliki ekspektasi peran dan identitas yang ternyata berbeda.
Menurut ahli psikologi anak dan dewasa tersebut, pasangan harus menentukan bagaimana peran mereka nantinya saat telah berkeluarga. Siapa yang nantinya akan mencari nafkah, mengurus rumah tangga, seberapa besar alokasi waktu untuk keluarga, serta bagaimana rencana masa depan mereka berdua. Selain itu perlu diperhatikan bahwa zaman telah berubah, konstruksi peran suami istri kini tak lagi terpaku pada pakem tradisional yang mengharuskan suami mencari nafkah dan istri mengurus rumah tangga. Sehingga sosialisasi gender di antara kedua pasangan diperlukan untuk membentuk pemahaman yang baik mengenai keinginan, kemampuan, serta ekspektasi dari satu sama lain.
“Kalau yang lebih pintar masak suami, ya tak apa suami yang handle beberapa urusan rumah tangga. Istri bisa support di bagian lain. Makanya penentuan peran dan rencana itulah yang akan merepresentasikan tema keluarga yang ingin dibangun. Apakah berdasar kerja sama, pembagian peran, maupun tema yang lain. Itu semua bisa diusahakan dengan diskusi awal pra-nikah,” ujarnya.
Pada poin kedua, pasangan hendaknya memperhatikan dan mendiskusikan external marital boundary. Keduanya perlu menetapkan sejauh mana baik suami maupun istri dapat berinteraksi dengan keluarga dan teman. Batasan ini meliputi seberapa sering suami atau istri mengunjungi keluarga masing-masing, bermain bersama teman, maupun sejauh mana pasangan dapat mendiskusikan masalah dengan keluarga dan teman dibanding dengan pasangannya.
Regulasi Batas Suami dan Istri
Saat seseorang telah menikah, apalagi telah memiliki anak, salah satu masalah yang seringkali hadir adalah bagaimana suami atau istri mampu menjaga esensi diri mereka sebagai seorang individu. Hilangnya sekat-sekat privasi sering membuat seseorang mengalami krisis identitas diri saat telah menikah. Untuk mencegah hal tersebut, pasangan perlu menetapkan batasan-batasan dalam hubungan suami istri.
“Anda perlu tahu perilaku mana yang disukai dan tak disukai. Mana hal-hal yang menyakiti pasangan, serta sejauh mana kita dapat mencampuri urusan pasangan. Semua itu dibutuhkan agar kita punya pertimbangan dalam berperilaku,” ungkap Tri Kurnia dalam webinar Menyiapkan Kehidupan Berkeluarga dan 1000 Hari Pertama Kehidupan yang digelar Fakultas Psikologi UNAIR pada Sabtu (24/10/2020).
Pengelolaan Keuangan
Sebuah survei mini yang dilakukan Tri Kurnia dalam webinar tersebut, mayoritas peserta webinar memilih cinta sebagai alasan utama untuk menikah. Akan tetapi saat ditanya perihal persiapan utama dalam menikah, mayoritas peserta menjawab dengan cukup rasional dan memilih masalah finansial sebagai aspek utama.
“Cinta tak cukup, tapi kita harus tetap rasional,” imbuhnya.
Pengelolaan tersebut meliputi bagaimana tabungan dan rekening akan dibuat, siapa yang bertanggung jawab membayar tagihan, manajemen keuangan sehari-hari, serta berbagai kepentingan finansial lainnya. Umumnya aspek finansial yang paling rumit dan melelahkan adalah keuangan sehari-hari, sehingga hendaknya keuangan tidak hanya dibebankan pada salah satu pasangan saja.
Strategi ini sendiri dapat dikatakan berhasil apabila pasangan merasa puas dengan kontrol dan kekuasaan yang didistribusikan dengan adil. Selain itu, akses keuangan yang seimbang juga mendorong iklim hubungan yang lebih baik. (yul)