SUMENEP|Keraton Sumenep dulunya adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dari paparan yang dilansir dari https://www.lontarmadura.com/babad-songenep-genealogi-rajaraja-sumenep, maju berkembang serta runtuhnya kerajaan-kerajaan di Indonesia adalah masalah “wangsa” atau “dinasti’. Artinya kerajaan itu timbul atau tenggelam karena adanya suatu dinasti yang kuat, yang mampu mendirikan kerajaan sendiri atau merebut kekuasaan dinasti, wangsa lain. Dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa kerajaan dalam segala keragaman dan tahapnya, adalah organisasi kekuatan atau organisasi kekuasaan, yang merupakan tipe kedua susunan ketatanegaraan.
Dengan demikian kekuasaan dari suatu kerajaan akan terus berkesinambungan diantara atau didalam wangsa atau dinasti itu sendiri. Sehingga timbulnya “homird novi’ mengharuskan dirinnya untuk melakukan tindakan legitimasi kekuasaannya. Dengan berbuat demikian maka akan tercipta ketentraman dan kedamaian bagi kelangsungan kekuasaannya, walaupun sejarah te!ah mencatat bahwa tidak selamanya hal demikian terjadi. Di dalam sejarah kerajaan di Madura, khususnya Sumenep, pandangan di atas juga berlaku, seperti yang akan kita lihat dalam pembahasan tulisan ini.
Arya Wiraraja Adipati Pertama Keraton Sumenep dan Karier Politiknya
Apabila kita belajar sejarah Indonesia, khususnya Jawa Timur tidak akan asing lagi akan nama Banyak Wide, Arya wiraraja, dan Menak Koncar. Ketiganya berkaitan dengan kerajaan Singasari, Majapahit, dan Lumajang tempo dulu. Pada masanya beliau mempunyai peranan penting dan strategis yang menentukan arah dan kemajuan tiga kerajaan tersebut, terutama bagi Kabupaten Lumajang.
Dari berita Pararaton diatas, kita ketahui bahwa Arya Wiraraja adalah seorang Adipati di Sumenep, yang sebelumnya sebagai Demung .
Hal ini disebabkan oleh ketidakpercayaan Kertanegara kepadanya. Bila kita dasarkan pada sumber sejarah yang ada, maka nampaknya pemecatan Arya Wiraraja itu erat kaitannya dengan pelaksanaan politik nusantara dari Kertanegara, yang bersifat ekspansionis. Suatu politik pembaharuan yang berusaha meninggalkan paham politik tradisional yang telah dianut semenjak raja Airlangga, yang hanya berkisar pada Janggala – Panjalu Sebagai paham baru tentunya akan mendapat tantangan dari para penganut paham lama.
Untuk realisasi politiknya tentunya wajar bila Kertanegara tidak segan-segan menyingkirkan para pembesar yang merintanginya dan menggantikannya dengan tokoh-tokoh yang mendukung paham politiknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemecatan Mpu Raganatha sebagai Amangkubumi, pemecatan Tumenggung Wirakerti sebagai Tumenggung. Dan terjadinya pemberontakan Kelana Bhayangkara (Cayaraja) seperti dilaporkan Kidung Panji Wijayakrama (pupuh I), Kidung Harsawijaya dan Nagarakartagama pupuh XLI/4 (Mulyana: 1979, 103-104). Dalam kerangka berpikir demikian, dapatlah kiranya dimengerti alasan pemecatan Arya Wiraraja.
Sebagai Adipati di Sumeneép, tidak banyak berita yang kita ketahui, kecuali hubungannya dengan Jayakatwang, raja Gelang-gelang dalam pemberontakannya terhadap Kertanegara, dan hubungan dengan R. Wijaya, dalam hal pendirian Kerajaan Majapahit. Tetapi mungkin dapat dipastikan bahwa Arya Wiraraja adalah seorang negarawan yang ulung, strategi politik yang lihai, dan seorang yang ambisius. Sehingga dapat dikatakan, Sumenep pada masa pemerintahannya mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap rakyat.
Hal inii terbukti dari kemampuannya mengerahkan laskar Madura di dalam membantu R. Wijaya membuka hutan Tarik yang merumpakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit, dan didalam membantu R. Wijaya mengusir tentara Tartar Cina pada tanggal 31 Mei 1293 M.
Dapat diperkirakan pada masa pemerintahan Adipati Arya Wiraraja di Sumenep yang berlangsung antara tahun 1270 – 1275 M (saat Kertanegara diangkat sebagai Raja Singasari dan sebelum ekspedisi Pamalayu) sampai tahun 1294 M (diangkatnya Arya Wiraraja sebagai Menteri Mahapramukha, seperti disebutkan dalam P. Kudadu), jadi sekitar 25 – 30 tahun, pusat pemerintahannya berada di Batu Putih.
Pelantikan Arya Wiraraja menjadi Adipati Sumenep, Serat Pararaton menuliskan sebagai berikut:
“Hana ta wongira, babatanganira buyuting Nangka aran Banyak Wide, singungan pasenggahan Aria Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatia ring Sunghenep, angger ing Madura ing wetan”
Artinya: “Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama banyak Wide, diangkat dalam kedudukan sebagai Arya Wiraraja, karena tidak dipercaya lagi dijauhkan sebagai adipati di Sumenep, yang terletak di Madura Timur”.
Serat Pararaton tidak mencantumkan tanggal dari peristiwa pelantikan tersebut. Tetapi dalam sumber sejarah lain yakni Prasasti Sarwadharma yang berangka tahun 31 Oktober 1269 M dijelaskan bahwa Raja Kertanegara telah berkuasa penuh dan tidak lagi berada di bawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana.
Prasasti Sarwadharma juga berisi tentang penetapan daerah menjadi daerah swatantra (berhak mengurus dirinya sendiri). Atas dasar fakta sejarah tersebut maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan terjadi pada tanggal 31 Oktober 1269 M.
Peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep dan kemudian diperingati pada setiap tahun hingga sekarang ini.
Lebih kurang 24 tahun Arya Wiraraja memerintah sebagai adipati Sumenep (1269-1293). Tentu bukan waktu yang singkat bagi sebuah pemerintahan.
Hanya disayangkan tidak ada sumber sejarah yang menjelaskan tentang keadaan sosial ekonomi Sumenep di bawah pemerintahan Aria Wiraraja. Kejadian yang terjadi di masa-masa akhir pemerintahannya adalah peristiwa politik yang berkaitan dengan penyerangan Jayakatwang (Raja Kediri) terhadap kerajaan Singasari atas rekomendasi Arya Wiraraja.
Setelah Wiraraja berada di Majapahit (sampai tahun 1295 M), pemerintah di Sumenep diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah. Pusat pemerintahannya dipindah Re Benasareh. Setelah itu Arya Bangah diganti lagi oleh putranya Arya Danurwenda, yang bergelar Lembusuranggono, dan keratonnya dipindah ke Tanjung. Setelah wafat kekuasaannya diserahkan kepada putranya Panembahan Joharsari.
Selanjutnya kepada puteranya Panambahan Mandaraka, kadipatennya dipindahkan lagi ke Keles. Sepeninggalnya Kerajaan Sumenep dibagi menjadi 2. Pertama dipimpin oleh Pangeran Bu-Kabu (Notoprodjo), dan kedua oleh Pangeran Baragung (Sumber Agung).
Apa yang menyebabkan pembelahan kerajaan tersebut, disebutkan oleh Babad agar tidak terjadi perebutan kekuasaan yang dapat menimbulkan perpecahan didalam keluarga kerajaan tersebut. Alasan ini tak dapat dibandingkan dengan pembelahan kerajaan yang dilakukan raja Airlangga, sekitar tahun 1942 M.
Dengan pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Sumenep dimulai oleh pemerintahan Arya Wiraraja. (Abdurachman, 1971, 5-7).
Oleh karena itu, tidak heran kalau Sumenep sebagai daerah yang memiliki objek wisata dengan variasi yang unik, dan tidak sedikit yang masih perawan. Objek wisata bahari, petilasan keraton, dan objek wisata ziarah merupakan kekayaan Sumenep yang belum seluruhnya menjadi perhatian wisatawan. Untuk yang terakhir, objek wisata ziarah, belakangan menjadi bagian penting dari pengenalan paket wisata di Sumenep.
(**An)