SURABAYA – beritalima.com, Mantan direktur Rumah Sakit Mata Undaan, dokter Sudjarno SP.M oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dinyatakan bersalah dan dihukum 3 percobaan lantaran memberikan surat teguran tanpa disertai kesalahan yang dilakukan dokter Lydia Nuradianti.
Pembacaan vonis digelar pada Kamis 28 Januari 2021.
Putusan 3 bulan percobaan yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Tjokorda tersebut membuat saksi korban dokter Lidya Nuradianti sedikit berlapang dada. Meski, menurut dokter cantik ini perjuangannya belum berhenti karena putusan ini masih belum inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Namun setidaknya, majelis hakim tingkat pertama sudah sependapat dengan dirinya bahwa dia tidak bersalah dan tidak sepatutnya mendapat surat teguran dari pimpinan tempat dia bekerja.
“Saya berjuang karena saya hanya ingin mengembalikan harkat dan martabat saya sebagai dokter mata karena saya memang tidak bersalah,” ujar dokter Lydia, Rabu (3/2/2021).
Sebenarnya, jelas dokter Lydia, dirinya sudah menempuh upaya kekeluargaan namun upaya itu tak membuahkan hasil karena dokter Sudjarno tetap bersikukuh bahwa dokter Lydia bersalah.
“Kan saya nggak mau disuruh mengakui perbuatan salah, sementara saya tidak melakukan,” jelasnya.
Dokter Lydia pun mengakui awal mula sampai dia menempuh jalur hukum dalam perkara ini. Semua berawal dari surat teguran yang dia terima dari dokter Sudjarno selaku Direktur Utama di Rumah Sakit Mata Undaan. Dokter Lidya dianggap melanggar etika profesi dan prosedur kerja. Akan tetapi, permasalahannya berada pada seorang pasien Lidya yang ternyata pada mata kirinya telah operasi oleh salah satu perawat Rumah Sakit yang bernama Anggi.
Padahal, dalam kode etik dan SOP perawat menyebut, perawat tidak memiliki kompetensi untuk melakukan tindakan operasi. Lidya menegaskan, operasi itu pun tidak dalam sepengetahuannya. Ia menuturkan, saat itu ia tengah melakukan tindakan operasi di ruangan lain dengan pasien yang berbeda pula.
“Sebelumnya saya sudah tanya ke perawat apa pasien tersebut sudah datang apa belum dan dijawab belum. Kemudian saya tanya lagi sampai dua kali di waktu berbeda jawabannya Anggi kamar operasi sedang dipakai dokter lain. Dan saya tidak mengetahui kalau dilakukan operasi oleh perawat pada pasien tersebut. Karena saat itu saya mengoperasi pasien lain di ruangan lain yang steril. Sedangkan operasi yang dilakukan perawat di ruangan non steril. Saat itu, ada enam atau tujuh pasien yang harus saya tangani secara beruntun. Makanya saya tak tahu,” kata Lidya.
Sebenarnya, kata dia, kasus tersebut telah dilakukan upaya mediasi, di mana perawat yang bernama Anggi yang kala itu mengoperasi pasien Lidya telah membuat pernyataan. Surat itu berisi pernyataan yang menyebut Anggi telah melakukan operasi atas inisiatif dirinya sendiri. Surat tersebut ditandatangani Anggi dan kepala perawat kamar operasi.
Lantas, Lidya menganggap usai adanya surat pernyataan tersebut, maka kasus itu dinyatakan selesai.
“Saya tegaskan, itu (operasi) bukan perintah saya. Saat itu, saya juga tidak tahu jika dia (Anggi) melakukan operasi. Itu tanpa sepengetahuan saya,” tandasnya.
Dijelaskan dokter Lydia, Anggi memang tidak memiliki kompetensi untuk melakukan operasi lantaran dia tak memiliki kapasitas dan tak sesuai SOP atau regulasi keperawatan. Akan tetapi, pihak manajemen rumah sakit malah memberikan surat teguran kepada Lidya, bukan kepada Anggi. Surat teguran itu diterima Lydia beberapa bulan setelah kejadian.
Oleh karena itu, Lidya merasa dizalimi. Tak berdiam diri, Lidya lantas melaporkan kejadian itu ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya. Selanjutnya, laporan Lidya diproses. Beberapa waktu kemudian, terdakwa dokter Sudjarno diminta mencabut surat teguran. Akan tetapi dokter Sudjarno abai.
“Sampai tujuh bulan, tak ada tindak lanjut saya melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya. Setelah dua bulan diproses penyidik, IDI Surabaya baru mengeluarkan surat bila saya tak bersalah,” aku dokter spesialis mata tersebut.
Keinginan dokter Lydia cukup sederhana bahwa dr Sudjarno mencabut surat teguran tersebut, dan dia pun tak akan menuntut ganti rugi apapun. Namun keinginan dokter Lydia tidak disambut baik oleh dokter Sudjarno.
Sementara pengacara dokter Lidya, George Handiwiyanto permasalahan ini sebenarnya sangat sepele, karena sudah ada pengakuan dari Anggi selaku perawat bahwa tindakan medis dengan melakukan operasi terhadap pasien tersebut atas inisiatif dirinya sendiri tanpa ada perintah dari dokter Lydia.
“Itu sebenarnya sudah selesai masalahnya, kenapa harus dikeluarkan teguran ke dr Lydia,” ujarnya.
Untuk saat ini lanjut George, dirinya selaku kuasa hukum korban akan mengikuti proses hukum paska putusan di tingkat pertama. Apabila nantinya dr Sudjarno tetap bersikukuh dan ngeyel maka diapun tak akan tinggal diam.
“Kita akan berjuang di tingkat Pengadilan Tinggi atau nanti di Mahkamah Agung agar tidak hanya dihukum percobaan namun kalau bisa dihukum masuk penjara,” tegasnya. (Han)