Patenkan Proses Ekstraksi Biomaterial Rekonstruksi Tulang, Semoga Bermanfaat bagi Kemanusiaan

  • Whatsapp

Caption: Prof Junaidi Khotib SSi MKes PhD Apt

SURABAYA, beritalima.com|
Hingga saat ini tingkat patah tulang (fraktur) akibat kecelakaan di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Operasi implantasi untuk penyembuhan dan rekonstruksi jaringan tulang pun kian banyak dibutuhkan. Melihat kondisi tersebut, tim peneliti Unair melakukan penelitian terkait proses produksi biomaterial guna mempercepat rekonstruksi jaringan tulang.

Penelitian yang dinahkodai oleh Prof Junaidi Khotib SSi MKes PhD Apt itu menemukan bahwa nano-hidroksiapatit dari tulang sapi memiliki kemampuan yang efektif dalam merekonstruksi jaringan tulang manusia akibat fraktur. Berkat temuan itu, ia dan tim berhasil mengantongi hak paten pada Juli 2022 lalu.

Nano-hidroksiapatit dan Keunggulannya

Hidroksiapatit merupakan material yang terbentuk dari ikatan kimia yang kuat serta menjadi bagian dari tulang makhluk hidup. Biasanya, hidroksiapatit banyak digunakan dalam berbagai rekayasa kesehatan, seperti rekonstruksi jaringan tulang atau gigi yang patah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prof Junaidi bersama tim, hidroksiapatit yang digunakan berasal dari tulang-tulang sapi.

“Hidroksiapatit pada tulang sapi saat digunakan sebagai implan ternyata memberikan tingkat kesembuhan yang lebih cepat,” kata peneliti yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Farmasi Unair itu.

Berdasarkan penuturan Prof Junaidi, pertumbuhan tulang yang patah biasanya membutuhkan waktu selama 40-45 hari. Akan tetapi, saat sekrupnya diganti dengan hidroksiapatit, ternyata proses penyembuhan hanya membutuhkan waktu 28 hari.

Seiring berjalannya penelitian, Prof Junaidi dan tim menemukan bahwa ukuran partikel hidroksiapatit dalam bentuk nano memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran mikro. Pasalnya, nano-hidroksiapatit bersifat mudah diserap, memiliki jumlah molekul banyak di permukaan, memiliki bioafinitas yang baik, serta mampu membantu proses integrasi tulang.

Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan tidak berhenti pada proses produksi hidroksiapatit saja, melainkan juga pada proses ekstraksi hidroksiapatit dari yang semula berukuran mikro menjadi nano.

“Artinya, ada proses percepatan kesembuhan dengan pemberian hidroksiapatit itu. Dengan demikian, kita melakukan penelitian lebih jauh, yaitu dengan melakukan ekstraksi hingga menghasilkan nano-hidroksiapatit,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof Junaidi menerangkan bahwa proses ekstraksi material hidroksiapatit mikro menjadi nano dilakukan dengan proses laboratorium yang sangat ketat. Proses itulah yang kemudian diajukan untuk mendapatkan hak paten.

Perjalanan Penelitian

Keberhasilan mendapatkan hak paten berkat temuannya tentu bukan hal yang mudah dan instan. Prof Junaidi mengaku bahwa ia bersama tim telah melakukan penelitian dan pengembangan sejak tahun 2007, tetapi saat itu pendanaan masih nihil.

“Baru pada tahun 2017 kami mendapatkan pendanaan dari Kemenristekdikti. Pendanaan itu berlanjut terus hingga tahun 2019, sebelum akhirnya mandek pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19,” ujar dosen kelahiran Jombang itu.

Sepanjang perjalanan penelitian itu, katanya, berbagai tantangan dan hambatan pun sempat ia hadapi. Hal itu terutama berkaitan dengan pengenalan produk dari proses ekstraksi, hingga peralatan yang seringkali mengalami trouble.

“Tentu tidak mudah mengenalkan produk laboratorium ini karena masyarakat sudah terlanjur mengenal merk yang lama. Misalnya masyarakat sudah terbiasa dengan merk A, kemudian tiba-tiba beralih pakai produk hasil laboratorium, tentu saja butuh proses panjang,” ungkap peraih penghargaan Satya Lencana itu.

“Kedua, terkait peralatan. Untuk proses ekstraksi nano hidroksiapatit itu membutuhkan pernis dengan suhu 1000∘C, jadi seringkali alatnya mengalami trouble,” imbuhnya.

Dengan dipatenkannya proses ekstraksi nano-hidroksiapatit ini, Prof Junaidi berharap produk yang dihasilkan dapat dihilirisasi dalam skala industri. Melalui hilirisasi tersebut diharapkan masyarakat dapat terbantu baik secara akses produk maupun ekonomi. Dengan demikian, misi riset yang berdampak pada kemanusiaan juga turut tercapai.

“Harapan kami tentu bila produk ini bisa dihilirkan dalam skala industri tentu ini bisa membantu masyarakat. Contoh hidroksiapatit yang nano itu kalau dijual tidak lebih dari Rp50.000, tetapi kalau di pasaran itu bisa mencapai Rp400.000. Jadi, ya, harapannya semoga bisa bermanfaat untuk kemanusiaan lagi,” pungkasnya.(Yul)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait