Oleh: Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jayapura)
“OAP” sering digunakan untuk menyingkat istilah “Orang Asli Papua”. Saat sama-sama mengantre di kedai pinggir jalan sore itu saya sangat beruntung bisa bertemu salah seorang OAP, sebut saja “Om Gustav” (bukan nama sebenarnya). Berbadan kekar dengan muka sedikit sangar tentu membuat saya harus ekstra hati-hati duduk di dekatnya. Apalagi, jika mengingat sejumlah kekerasan yang menimpa beberapa anak bangsa non Papua di beberapa belahan bumi Papua yang lain. Akan tetapi, kesan itu tiba-tiba sirna ketika dia mempersilahkan saya duduk di sampingnya. Dengan bahasa santun dan intonasi pelan, sirnalah kesan sangar saat saya pertama kali memandangnya. Meskipun masih lekat dengan aksen Papua, kata-katanya terdengar lembut dan penuh keramahan. Rasa bersahabat pun sepontan muncul, ketika mengingatkan saya agar duduk sedikit menjauh dari got jalan.
Pria yang mengaku pernah berberat badan 90 kilogram ini memberitahu saya bahwa kedua anaknya kuliah di salah satu kota besar di Jawa Timur. Ketika saya menyebut berasal dari daerah ujung Timur Pulau Jawa, dia pun mengaku mengenalnya, karena pernah lewat di sana. Ayah dua anak itu, harus saya acungi jempol. Mengapa? Visinya tentang Papua dan dunia pendidikan terlihat jelas ketika ia berkesimpulan bahwa pendidikan merupakan jalan satu-satunya agar suatu daerah bisa maju. Ketika menempatkan anaknya kuliah di Jawa dia pun selalu menyampaikan pesan ini kepada anak-anaknya. “Jangan ikut-ikutan demo. Tugasmu adalah kuliah,” begitu sebagian nasihat tegas yang ia sampaikan kepada anak-anaknya. Pesan jangan demo yang dimaksud bukan ternyata bukan layaknya demo mahasiswa Jawa tentang suksesi kampus, kenaikan harga BBM atau sejumlah kebijakan publik pemerintah lainnya. Demo yang dimaksud tetidak lain demo ala mahasiswa Papua yang sering bernuansa ‘politik tingkat tinggi’: demo bernuansa SARA atau bahkan sparatis.
Dia mencoba meyakinkan saya, bahwa demo-demo politik bernuansa separatis tersebut sebenarnya hanya dilakukan oleh segelintir orang yang diotaki OAP dari daerah tertentu. Menurutnya selama ini pemerintah sudah terlalu baik dan sudah manaruh perhatian besar terhadap Papua. Tinggal orang Papua mau atau tidak mamacu diri. Tentang keinginan merdeka oleh sebagian orang papua, dia mempunyai tamsil menarik. “Jika ingin merdeka sama halnya ingin memotong pohon beringin besar hanya dengan sebilah silet. Tidak mungkin timbang, silet pun habis”, katanya. Kalimat itu pula yang sering ia nasihatkan buat anak-anaknya. Suatu tamsil yang dari aspek historis maupun secara legalistik sangat rasional.
Kilas Balik Papua
Papua yang dulu bernama Irian Barat memiliki sejarah sedikit lebih panjang dari pada daerah lain. Irian Barat, merupakan wilayah integral NKRI yang tidak dapat terpisahkan. Sejak Oktober tahun 1962 bendera PBB sudah berkibar berdampingan dengan sang “Merah Putih” di Irian Barat, namun pada tanggal 1 Mei 1963 bendera PBB diturunkan dan bendera Merah Putih tetap jaya berkibar hingga saat ini. Perbedaan pendapat dari sekelompok masyarakat Papua yang tergabung dalam suatu organisasi maupun perseorangan menginginkan perpisahan dari NKRI juga masih terus berlangsung pada saat ini. “Separatis”, kata yang cocok didefinisikan terhadap mereka yang ingin memisahkan diri. Sampai saat ini, gerakan separatisme di Papua sendiri tergolong menjadi 2 fron, yaitu separatis fron politik dan separatis fron bersenjata. Salah satu hal yang selalu diangkat oleh mereka adalah pelurusan sejarah PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) karena dianggap merupakan proses dekolonisasi Irian Barat ke NKRI dan tidak sah. Oleh karenanya, perlu diulas kembali tentang sejarah tersebut sebagai pengingat dan mengenang perjuangan para pahlawan yang gugur demi kembalinya Irian Barat.(Vide: https://perpustakaan.komnasperempuan.go.id).
KOMPAS.com juga menulis, bahwa berdirinya Papua bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan pada 27 Desember 1949. Melalui KMB, Belanda bersedia memberikan kedaulatannya kepada Indonesia. Akan tetapi, antara Indonesia dan Belanda masih terlibat konflik. Kedua negara ini tetap merasa berhak atas tanah Papua atau Irian Barat. Karena Belanda tetap ingin Papua bagian barat terbentuk sebagai negara sendiri, akhirnya mereka membawa masalah ini ke forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada akhirnya, Belanda bersedia berdiskusi kembali dengan Indonesia, yang kemudian terbentuk perjanjian New York. Melalui perjanjian tersebut, Belanda bersedia menyerahkan kekuasaannya atas Papua atau Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNITEA) Namun, Belanda mensyaratkan agar Indonesia melakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hasil Pepera menunjukkan bahwa Papua bagian barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Sengketa dengan Belanda
Berdirinya Papua sendiri berawal dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan pada 27 Desember 1949. Melalui konferensi tersebut, dihasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Namun, KMB masih menyisakan kekacauan bagi pihak Indonesia dan Belanda. Kedua negara ini masih merasa berhak atas tanah Papua atau Irian Barat. Belanda ingin Papua bagian barat berdiri sebagai negara sendiri di bawah kendali Kerajaan Belanda. Alasannya adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu, Belanda ingin Papua berdiri sebagai negara sendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda. Namun, sebaliknya Indonesia ingin seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dilakukan beberapa kali perundingan, tetapi masih belum juga menemukan titik temu. Karena Belanda tetap bersikeras ingin mempertahankan Papua, akhirnya masalah ini dibawa ke forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam Sidang Umum PBB bulan September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Marie Antoine Hubert Luns mengajukan usulan agar Papua atau Irian Barat berada di bawah PBB. Namun, usulan tersebut ditolak oleh Majelis Umum PBB. Presiden Soekarno kemudian membentuk Komando Mandala untuk merebut Papua pada 2 Januari 1962. Ia menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai komandan dari operasi militer tersebut.
Setelah perjuangan panjang, Belanda akhirnya bersedia kembali berunding dengan Indonesia. Pada 15 Agustus 1962, disepakati Perjanjian New York yang menyatakan Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yaitu badan pelaksana sementara PBB yang berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA sendiri dibentuk PBB karena terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda dalam permasalahan status Papua Barat. Dalam perjanjian New York, Indonesia disyaratkan untuk melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Pada 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Akhirnya, pada 31 Desember 1962, kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua dimulai, di bawah pengawasan PBB. Bendera Belanda juga diganti dengan bendera sang Saka Merah Putih. Tanggal 1 Mei 1963, Papua diberikan sepenuhnya kepada Indonesia. Kedudukan Papua Barat semakin pasti setelah diadakan referendum act of free choice atau Pepera pada 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Pepera membuktikan bahwa mayoritas rakyat Papua atau Irian Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Kemudian, hasil Pepera dibawa ke Sidang Umum PBB. Pada 19 Desember 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil Pepera.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Presiden Soeharto mengganti nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Kemudian, sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Provinsi Irian Barat atau Irian Jaya diganti menjadi Provinsi Papua. Lalu, tahun 2004, Papua dibagi menjadi dua provinsi, yaitu Timur dengan tetap disebut Papua, sedangkan bagian Barat menjadi Provinsi Irian Jaya Barat atau Papua Barat. Dan, dalam perkembangannya, kini Papua terbagi menjadi 6 provinsi, yaitu Provinsi Papua dengan ibukota Jayapura, Provinsi Papua Barat dengan ibu kota Manokwari, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Barat Daya dengan ibu kota Sorong, dan Provinsi Papua Pegunungan dengan ibu kota Wawena.
Sengaja tulisan ini dibuat di samping karena pertemuan saya dengan Om Gustav tepat di Hotel Sunny Abepura, juga karena hotel tersebut dalam beberapa hari yang lalu kemudian menjadi ‘kantor sementara’ RI-2, Prof.Dr. K.H. Makruf Amin (Wakil Presiden RI). Secara umum, terlepas dari agenda resmi kenegaraan–yaitu peletakan batu pertama pembangunan kantor gubernur Papua Pegunungan di Wamena–kunjungan beliau ke bumi Papua harus dilihat dalam konteks lebih membersamai seluruh rakyat Papua. Dan, yang lebih penting, untuk lebih mamastikan bahwa pembangunan di Papua berjalan sesuai harapan pemerintah pusat. Sehingga, kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua, yang sebagian telah diapresiasi OAP Om Gustav sahabat saya itu, dapat benar-benar terwujud sekaligus dapat dirasakan manfaatnya.