SURABAYA, beritalima.com – Tobacco Control Support Centre – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Jawa Timur mendesak DPRD Kota Surabaya segera mewujudkan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM).
Menurut Ketua TCSC-IAKMI, Dr. Santi Martini, dr.M.Kes, Perda Nomor 5 Tahun 2008 terkait KTR dan KTM sudah tidak relevan dengan UU No.36/2009 tentang kesehatan dan PP 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
UU No.36/2009 dan PP 109/2012 menyatakan ada tujuh jenis sarana yang dikategorikan KTR. Ke-7 KTR itu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan.
Sedangkan Perda No.5/2008 belum menetapkan tempat umum dan tempat kerja sebagai KTR.
Menurutnya, Perda No.5/2008 harus direvisi, karena dua lokasi yang belum menjadi KTR sangat berpengaruh meningkatnya baby smoker.
Regulasi terkait KTR di Surabaya adalah keharusan dan penting dilakukan. Karena belakangan tidak hanya orang dewasa yang merokok, tapi juga pernah dilakukan balita.
“Kita miris melihat YouTube ada balita sudah kecanduan rokok, dan oleh orang di sekitarnya juga diberikan rokok. Ini menjadi keprihatinan kita semua,” tegasnya.
TCSC IAKMI Jatim mengusulkan, iklan rokok dilarang, harga rokok dinaikkan, rokok tidak dijual eceran, dilarang menjual rokok pada anak usia kurang dari 18 tahun, memberi sanksi bagi orangtua yang merokok tapi memiliki balita.
Selain itu, menjual rokok tidak mencolok, rokok tidak dipajang dekat makanan, minuman, obat dan kue, mainan anak, dan tempat jual rokok harus berizin.
Jika tempat kerja dan tempat umum juga diakomodasi dalam Perda sebagai KTR, menurutnya, jumlah perokok akan semakin berkurang.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen, Said Utomo, menyatakan, sangat mendukung pengesahan Perda tersebut. Menurutnya, produksi rokok seharusnya dilarang, karena rokok adalah produk yang tidak sehat dikonsumsi oleh masyarakat.
“Dengan adanya korban dampak asap rokok, produsen rokok seharusnya memberikan kerugian pada masyarakat dengan memberikan kompensasi kesehatan,” ujarnya.
Dibyo dari Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) sepakat mendesak pemerintah untuk menaikkan harga rokok dan mengeluarkan peraturan yang melarang penjualan rokok secara eceran. Karena, kalau rokok harganya mahal dan tidak dijual eceran diyakini anak-anak tidak akan mampu membeli.
Sementara itu Ainul Jamilah dari PC Muslimat NU Jawa Timur, dalam acara itu mengungkapkan kekhawatirannya dengan adanya anak di bawah umur yang mulai menjadi perokok aktif.
Muslimat NU juga mendukung agar pemerintah segera merevisi Perda kawasan rokok dengan yang lebih memadai guna melindungi generasi milenial dari bahaya rokok.
Selain menghadirkan para narasumber tersebut, dalam acara yang digelar TCSC-IAKMI Jatim di Surabaya pada Rabu (16/1/2019) ini juga menghadirkan korban terdampak asap rokok yang pita suaranya telah diamputasi lantaran terkena kanker. Ia bernama Ike, umur 40 tahun.
Melalui juru bicara, dalam testimoni Ike mengaku sebagai korban perokok pasif, karena lingkungannya mulai dari keluarga hingga di tempat kerjanya sebagian besar perokok aktif.
Ike mengaku selama 10 tahun harus mengisap asap rokok dari sekitarnya hingga mengakibatkan pita suaranya rusak, suaranya tidak bisa keluar, dan untuk bernafas tidak bisa melalui hidung karena tenggorokannya telah dilubangi untuk jalannya pernafasan. (Ganefo)