Pelanggaran HAM Berat di Indonesia 2014-2024 Ternyata Memprihatinkan

  • Whatsapp
Peneliti Sri Palupi: Pelanggaran HAM berat di Indonesia 2014-2024 ternyata memprihatinkan (foto: praksis)

Jakarta, beritalima.com| – Sebuah kajian terbaru dirilis The Institute for Ecosoc Rights memunculkan temuan memprihatinkan serta mencengangkan, dimana lebih dari satu juta warga Indonesia kehilangan nyawa akibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk krisis ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) pada periode 2014–2024.

Laporan bertajuk Mati Sunyi Satu Dekade: Membaca Pelanggaran HAM Berat, 2014-2024 itu menyebut total korban mencapai 1.014.552 orang. Angka tersebut mencakup kematian karena wabah penyakit menular, kecelakaan kerja, buruknya layanan kesehatan ibu dan anak, perusakan lingkungan, hingga tekanan ekonomi yang berujung bunuh diri.

“Nyawa manusia, terutama warga miskin, seakan tidak lagi bernilai karena negara gagal menjalankan kewajibannya untuk melindungi hak hidup rakyat,” ujar peneliti utama Sri Palupi saat memaparkan hasil kajian dalam diskusi rutin Forum Praksis (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) ke-13 bekerjasama dengan IKAD (Ikatan Alumni STF Driyarkara) di Jakarta (26/9).

Dari kajiannya, ditemukan tiga penyebab kematian terbesar adalah wabah penyakit menular (680.765 orang), kecelakaan kerja (246.597 orang), dan buruknya layanan kesehatan ibu dan anak (67.091 orang). Masa pandemi Covid-19 yang lalu, sumbang 196.783 kematian atau hampir sepertiga dari total korban penyakit menular.

Jumlah kematian akibat kecelakaan kerja melonjak tajam, hampir 250 ribu jiwa dalam sembilan tahun. Penyebabnya antara lain minimnya pelatihan keselamatan, kelelahan, prosedur yang diabaikan, hingga tekanan produksi berlebihan.

Lalu angka kematian ibu justru meningkat dari 4.005 jiwa pada 2022 menjadi 4.129 jiwa di 2023. Angka Kematian Ibu pun naik dari 183 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup.

Kajian ini menyingkap fakta gelap mengenai kemiskinan. Dari total 6.815 kematian akibat krisis ekonomi, prosentase terbesarnya adalah bunuh diri. “Tekanan ekonomi telah membuat ribuan orang memilih untuk mengakhiri hidupnya, dan ini hanyalah puncak gunung es. Meskipun sangat banyak, sebagian besar kasus tidak pernah tercatat secara resmi,” papar Sri Palupi.

Menurut Sri Palupi, pola kematian masif ini terkait dengan kebijakan negara yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang keselamatan warga. Akibatnya terjadilah berbagai bentuk pelanggaran HAM berat. Menurutnya ada lima indikator pelanggaran HAM berat, dan kelimanya terpenuhi.

“Lima indikator pelanggaran HAM berat terpenuhi: pelanggaran hak hidup yang serius, jumlah korban sangat masif, terjadi berulang dalam kurun waktu panjang, berlangsung secara sistematis melalui kebijakan negara, dan tidak adanya upaya mengadili atau menghentikan praktik tersebut,” terang Sri Palupi salam laporannya.

Pemerintah yang berkuasa disebut sebagai pihak paling bertanggung jawab di balik pelanggaran yang ada. Dan, lembaga negara dinilai telah terkooptasi oleh berbagai tarikan kepentingan sesaat, sehingga gagal mencegah pelanggaran hak hidup rakyat. Sri Palupi menilai, bahkan setelah periode tersebut berlalu, pelanggaran HAM serupa masih tetap terjadi.

“Pada periode selanjutnya yang terjadi bukan koreksi atas apa yang telah terjadi, melainkan justru kelanjutannya,” kritik Sri Palupi. Indikasi yang ada sekarang, justru menunjukkan kebijakan lama yang bermasalah masih terus berlanjut.

Pertanyaan besar dari Sri Palupi: apakah negara akan terus membiarkan rakyatnya “mati sunyi” terjerat kebijakan-kebijakan sosial, ekonomi budaya yang mengorbankan hak-hak asasi mereka.

Jurnalis: abriyanto

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait