Pelecehan seksual: Antara Sumarijem dan Putri Candrawati

  • Whatsapp

Oleh: Asmu’i Syarkowi

Menurut Siti Aminah Tardi, sebagaimana dikutip Gresnia Arela Fbriani (Walipop.detik.com 29 Februari 2020) pelecehan seksual adalah perbuatan yang dialakukan dalam bentuk fisik atau non fisik yang tidak dikenhendaki dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual, dan melakukan sentuhan fisik. Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.

Frasa “yang tidak dikehendaki” untuk memebedakan dengan perbuatan yang sama atas dasar suka sama suka. Dengan kata lain, apabila ada aktivitas yang berkaitan dengan seksual tetapi dilakukan atas kemauan kedua belah pihak atau atas dasar suka sama suka, bukan teramasuk kategori pelecehan seksual, apalagi kekerasan seksual. Lebih jelas lagi mengenai hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Meity Arianti STP, M.Psi. Menurutnya, pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat, dan tindakan (Ibid).

Pengertian di atas pada umumnya kemudian dijadilan dalih oleh siapa pun yang diduga melakukan tindakan pelecehan bahwa apa yang dilakukan kepada korban bukan termasuk pelecehan karena dilakukan atas kemauan kedua belah pihak atas dasar suka sama suka. Dengan dalih yang seolah bersifat antagonis ini pelaku biasanya ingin membebaskan diri dari jeratan hukum. Itulah sebabnya perbuatan pelecehan seksual berserakan di berbagai UU kini secara khusus diatur dalam UU tersendiri, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Sosial (TPKS). Ada sejumlah jenis sikap dan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Anatara Sumarijem dan PC
Dua wanita ini adalah sama-sama yang terkait dngan isu pelecehan seksual. Bedanya yang pertama benar-benar telah menjadi korban. Kasus yang menimpa Sumarijem bermula dari tindakan perkosaan yang menimpa gadis belia penjual telur keliling di Yogyakarta. Kasus yang terjadi 21 September 1970 itu kemudian terkenal dengan “Kasus Sum Kuning”. Bermula dari kepulangannya yang kemalaman dan tidak mendapatan Bus kota, perempuan malang berusia 17 tahun itu di jalan dihampiri oleh sejumlah pemuda yang kemudian menyeretnya ke dalam mobil. Suasana kota yang waktu itu sepi memuluskan perbuatan jahat mereka. Mereka membiusnya dan kemudian memperkosanya secara bergantian. Tragisnya, setelah diperkosa gadis asal Godean ini kemudian di buang dijalan dan uang hasil dagangannya berjumlah 4.650 rupiah ikut disikat para pemuda durjana.

Berkat seorang wartawan koran setempat, kasus ini dilaporkan ke Polisi Militer yang kemudian beritanya menyebar. Seandainya mau, aparat sebenarnya dapat dengan mudah mencari dan menemukan siapa pelakunya. Waktu itu tidak banyak pemuda yang mengendarai mobil, kecuali anak orang kaya dan / atau orang terpandang. Akan tetapi justru karena para pelaku menyangkut orang terpandang, kasus yang semula criminal biasa itu menjadi rumit dan berliku. Bahkan, masih menjadi misteri sampai saat ini. Celakanya justru korban dengan segenap kepedihannya harus melengkapi penderitaannya dengan menjadi pesakitan hukum. Gadis malang itu pada babak berikutnya justru ditahan polisi segera setelah keluar dari rumah sakit. Kasusnya, dia dianggap menyebarkan berita bohong.

Singkat cerita, atas perbuatan yang didakwakan, jaksa menuntut hukuman 3 bulan penjara. Untunglah, Hakim Lamijah Moelyarto menolak tuntutan jaksa. Untung juga waktu itu Indononesia punya seorang Kapolri legendaris Jenderal Hoegeng yang kejujurannya oleh Gus Dur hanya bisa dirivalkan dengan 2 polisi lainnya, yaitu “polisi tidur” dan “atung polisi.” Sebelumnya memang telah dibentuk tim khusus untuk mengusut kasus regional yang bergaung nasional itu. Akan tetapi, upaya Kapolri kandas ketika kemudian kasus itu diambil alih Kopkamtib. Kasus itu pun seperti menjadi antiklimaks. Seorang penjual bakso justru dijadikan tersangka. Sedangkan pelaku yang sebenarnya sampai sekarang tetap tidak terjamah hukum.

Bagaimana PC?
Berawal dari kasus kematian sang Ajudan Brigadir J, dia melaporkan pelecehan seksual oleh almarhum terhadap dirinya di Duren. Pesan yang ingin disampaikan dari kasus yang dilaporkan tampaknya sederhana. Kasus kematian almarhum dipicu oleh perilakunya sendiri, yaitu melakukan pelecehan terhadap PC. Banyak orang menduga bahwa laporan PC ini diduga untuk mencari alasan pembenar tindakan tembak menembak yang mengakibatkan Brigadir J meninggal. Tetapi sayang, berkat perjuangan berliku para pengacara keluarga almarhum, Polri pun dapat memastikan bahwa kematian sang ajudan itu dengan sengaja didalangi oleh FS yang tidak lain suami PC sendiri. Dengan demikian pelaporan kekerasan seksual oleh PC kali ini tidak saja kurang masuk akal tetapi juga bisa dikualifikasikan laporan palsu. Sebagai sebuah sekenario telah gagal bersama gagalnya sekenario “telah terjadi tembak menembak antar Brigadir J dan Barada E”. Pantas saja kemudian polri segera menutupnya.

Meskipun kasus duren ini kemudian sudah ditutup oleh Polri tampaknya ada kasus laporan pelecehan jilid dua. Kali ini pelecehan itu terjadi di Magelang. Singkat cerita almarhum ketika saat di Magelang di duga telah melakukan pelecehan terhadap PC. ‘Pengakuan’ PC ini tidak juga sulit nyangkut di logika masyarakat pada umumnya. Setidaknya, ada ada 3 alasan mengapa pelecehan seksual itu tidak masuk akal. Pertama, laporan itu dilakukan dengan motif membangun opini publik yang saat itu sedang menanti polisi menjelaskan motif pembunuhan. Keberhasilan sekenario ini tentu akan berengaruh kepada tindak pembunuhan yang dilakukan suaminya. Kedua, semula kasus Magelang tidak pernah terungkap saat sekenario pertama nyaris berhasil. Mengalihkan kasus yang sama di Magelang tidak masuk akal sebab saat kepulangan dari Magelang rombongan terlihat damai-damai saja. Ketiga, dari sisi tempat terjadinya pelecehan terhadapnya secara teori tidak masuk akal. Sebab, tempat yang dituduhkan terjadi pelecehan adalah wilayah kekuasaan PC sendiri. Adalah suatu tindakan yang gila, apabila seorang ajudan nekat melakukan pelecehan sang bos di rumah sang bosnya sendiri. Setidaknya yang terakhir ini telah berkali-kali, baik melalui wawancara atau analisis, dikemukakan pakar psikologi forensik Dr. Reza Amiril Indragiri.

Dari ilustrasi di atas bahwa kasus Sumkuning dan PC sejatinya merupakan kasus yang serupa tetapi tidak sama. Dua kasus yang menimpa dua tokoh ini boleh disebaut sama karena sama menyangkut pelecehan seksual. Perbedaannya, dalam kasus Sum Kuning, Sumarijem benar-benar mengalami perkosaan dan telah mengundang simpati masyarakat luas sampai saat ini. Sedangkan pelecehan yang menimpa PC belum pernah dibuktikan. Bahkan, banyak publik menyangsikan dan karenanya sulit memperoleh simpati masyarakat–kecuali Komnas HAM dan Komnas Perempuan–dibandingkan dengan nyawa “sang ajudan” yang harus melayang dengan cara yang sangat tragis.

Akhirnya, terlepas dari apapun motifnya, tindakan kekerasan seksual memang harus menjadi concern semua pihak. Kemajuan teknologi yang ada memungkinkan para predator memuluskan rencana kejahatan. Kita perlu mnyelamatkan anak cucu kita dari persoalan susila ini. Itulah sebabnya empati terhadap setiap peristiwa kekerasan seksual perlu kita tanamkan dalam nurani kita secara tulus. Empati tulus ini jelas berbeda dari mereka yang menjadikan kekerasan seksual menjadi satu nomenklatur yang justru demi motif komersial dan/ atau motif politik tertentu.

BIODATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 19910301 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan :

1. SD Negeri Sumberejo, 1975
2. MTs Negeri Srono, 1979
3. PGA Negeri Situbondo, 1982
4. Pondok Pesantren Misbahul Ulum Situbondo ( 1979-1982 )
5. Sarjana Muda Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1986
6. Sarjana Lengkap (S-1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
7. S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001

Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni.
Pengalaman Tugas :
 Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
 Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
 Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
 Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
 Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
 Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A, 2016-2021.

Sekarang: :
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A, 31 Agustus 2021- sampai sekarang.
Alamat rumah : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait