Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Alumnus Fak. Syari’ah/ Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Sekitar tahun 80-an penulis pernah berjumpa dengan sorang lanjut usia di pinggiran kota Yogyakarta. Penulis bertemu dengannya dalam kapasitas sebagai “guru ngaji” musala di kampungnya. Oleh karena orang tersebut dituakan masyarakat setempat, maka agar misi sebagai guru ngaji sukses, penulis bersama teman-teman ustadz lain perlu merapat dengan beliau. Misi kami sama-sama dari pesantren adalah satu: agar tugas sebagai guru ngaji dan kegiatan dakwah sebagai misi utama kami sukses karena mendapat dukungan moril dari sang tokoh setempat. Pendek kata, kami pun berhasil mengambil hati beliau.
Penampilan ala santri yang mendapat doktrin tawaduk (rendah hati) dan bergaya “ndeso”, tampaknya membuatnya tidak canggung untuk berakrab-akrab dengan kami. Mungkin dia heran mahasiswa yang biasa garang, bergaya elit, suka demo tidak terlihat pada penampakan kami. Hubungan kami dengan beliau dan keluarganya pun kian akrab saja dari hari ke hari. Kami pun sering disuguhi makanan ala desa dari yang makanan ringan sampai makanan berat.
Pada suatu hari, di sela-sela cengkerama kami, beliau bertanya: “Mas-mas ini kuliah di mana, to?” Saya pun menjawab dengan bangganya.” IAIN Mbah”, kataku mewakili teman-teman, mantap. Pertanyaan itu tampaknya menjadi kenangan yang tersisa dari sekian dialog perkenalan kami saat awal-awal perjumpaan. Saya juga heran, mengapa dulu kami kok tidak canggung, memperkenalkan perguruan tinggi tempat kami kuliah. Mendengar kata “IAIN” masih mengajukan pertanyaan berikutnya. Yang mengherankan saya dan sempat membuat kami ‘tersinggung’ adalah karena pertanyaan berikutnya ini menanyakan status IAIN itu, negeri atau swasta. Alangkah bodohnya orang tua ini. Saya bergumam dalam hati. IAIN ( sekarang UIN) Sunan Kalijaga yang sudah kondang di hampir seantero dunia Islam, justru tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri, walaupun hanya sekedar menentukan negeri atau swasta. Tapi kesebalan hati saya segera hilang, ketika saya menyadari bahwa orang tua ini memang tidak akrab dengan berita-berita dunia Islam. Justru karena situasi dan kondisi itulah saya bersama teman-teman santri hadir untuk memperkenalkan agama Islam semampu kami.
Dari anekdot tadi ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran. Pertama, Perguruan Tinggi Agama (IAIN, STAIN/STAIS, dan semacamnya waktu itu ) memang sering kurang dikenal dalam tata pergaulan umum. Orang tadi hanya salah satu contoh kecil mengenai hal ini. Masyarakat lebih mengenal bahwa perguruan tinggi itu sama dengan UGM, IKIP ( waktu itu), UI, UNDIP, ITB, IPB, UNAIR dan sejumlah perguruan umum ternama lainnya. IAIN itu perguruan tinggi apa dan mempelajari apa, banyak orang tidak atau kurang mengerti. Kedua, bahwa IAIN masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Kurikulum yang ada diaggap tidak aplikatif bagi pasar kerja. Alumni IAIN hanya dianggap hanya mampu bersaing dengan masyarakat pedesaan. Itupun hanya sebatas di lingkungan kaum santri. Malah ada yang mengatakan alumni IAIN tak ubahnya sebagai “ modin terdidik”. Dalam konteks ini, saya juga tidak jadi tersinggung ketika membaca biro iklan jodoh di harian Kompas. Seorang pengiklan perempuan itu hanya mendambakan suami sarjana apa pun dan dari agama apa pun, asal bukan sarjana IAIN.
Gambaran minor tersebut tidak terkecuali juga dialami oleh alumni Fakultas Syari’ah. Padahal, sebagaimana diketahui Syari’ah adalah sebuah fakultas ‘elit’ dan oleh karenanya paling favorit di IAIN setelah fakultas Tarbiyah dengan berbagai jurusannya. Banyak orang tidak tahu, mahasiswa fakultas Syari’ah pada umumnya adalah mahasiswa yang harus berkemampuan bahasa Arab lebih dibanding mahasiswa lainnya. Hal ini tidak mengherankan sebab kebanyakan literatur-literaturnya terdiri dari kitab-kitab barhasa Arab dari yang klasik sampai yang kontemporer. Itulah sebabnya mengapa kabanyakan mahasiswa bangga bila dapat diterima dan bisa menyelesaikan studi di Fakultas yang menekuni bidang hukum Islam langsung dari sumbernya dan para pakar hukum Islam secara langsung melalui karya-karya mereka yang berjilid-jilid dan hampir 99,9 berbahasa Arab itu. Kualifikasi penguasaan literatur dan materi hukum Islam ini memang menjadi nilai lebih di mata Sarjana Hukum dari PTU. Akan tetapi dari sisi pasar kerja yang linear tetap saja dipandang sebelah mata. Bahkan, tidak membuat Sarjana Syari’ah dapat serta merta terkenal.
Pengalaman yang nyata adalah ketika ada seorang teman alumni syari’ah tahun 87-an diterima manjadi perwira bintal militer di sebuah kodam. Padahal, spesialisasi kelulusan yang dibutuhkan adalah dari alumni Fakultas Dakwah. Tampaknya, pihak panitia tidak dapat mebedakan Fakultas Dakwah dan Syari’ah. Panitia mungkin hanya tahu bahwa IAIN hanya mencetak tukang “ngisi pengajian” terdidik. Sekalipun, teman tadi diuntungkan oleh ketidaktahuan pihak orang luar tentang jeroan IAIN akan tetapi kondisi tersebut tetap memprihatinkan kita.
Upaya pihak kementrian agama meningkatkan mutu dan kualitas alumni IAIN, syari’ah khususnya, terus dilakukan. Terakhir dan yang ‘fundamental’ adalah terbitnya PMA Nomor 33 Tahun 2016 dan disusul dengan PMA Nomor 38 Tahun 2017. Pada peraturan tersebut pada pokoknya diatur tentang gelar akademik lulusan perguruan tinggi keagamaan termasuk Syari’ah. Yang menarik dalam PMA ini adalah bahwa gelar semua spesialisasi keilmuan yang ekuivalen dengan fakultas Perguruan Tinggi Umum (PTU) disamakan dengan gelar sarjana PTU, termasuk Syari’ah yang dahulu bergelar Sarjana Syari’ah yang disingkat “S.Sy” dan kemudian Sarjana Hukum Islam disingkat “S.HI”, kini secara penuh diubah Sarjana Hukum disingkat “S.H.”. Berkah yang jelas dapat segera dipetik adalah dari sisi peluang Sarjana Syari’ah mempunyai peluang yang sama dengan Sarjana Hukum lulusan PTU. Persoalannya adalah, apakah penyamaan nama gelar itu dapat menyamakan kualitas sarjana IAIN dengan kualitas lulusan PTU?.
Untuk menjawab ini setidaknya perlu dilihat dari 2 sisi. Pertama, sisi kelembagaan PTA harus berbenah, seperti pembenahan sarana dan prasarananya serta manajemennya maupun sisi SDM ( para Dosen ). Kreativitas pihak manajemen fakultas mengadakan inovasi dan improvisasi sehingga tercipta iklim akademik ideal sangat diperlukan. Dalam konteks ini, penulis mengajukan acungan jempol kepada IAIN Jember yang membuat terobosan dengan mengadakan praktik sidang semu antar IAIN se-Indonesia. Dari sekitar 50 peserta yang memenuhi kualifikasi panitia hanya sekitar 50 persen. Dari sisi teori keberhasilan dan kegagalan pembelajaran data tersebut jelas menunjukkan bahwa Fakultas Syari’ah masih ‘gagal’ menyiapkan tenaga aplikatif di bidang teknis peradilan. Yang pasti IAIN Jember selain telah membuat langkah kreatif lebih dari itu kegiatan tersebut harus dipandang sebagai upaya fakultas melahirkan tenaga-tenaga profesional yang siap pakai, dalam hal ini di bidang hukum, baik di dunia kepengacaraan maupun peradilan.
Tentu saja upaya ini tidak hanya sebatas upaya sporadis melainkan harus berkelanjutan dengan terus melihat peluang-peluang di lapangan. Kita tentu bangga ada beberapa alumni syari’ah yang berhasil menjadi ikon di bidang hukum, seperti Dr.H.Fadil Sumadi, S.H., M.H. mantan Hakim MK 2 periode yang alumni IAIN Semarang 1978 dan Muhtadi, S.Ag., M.A (Jaksa Muda Pidana Khusus Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung Republik Indonesia) alumni Prodi Perbandingan Mazhab Khusus (PMFK) dan Magister Kajian Islam UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Pertanyaan kita adalah, mampukah alumni berikutnya menyusul para pendahulu itu?.
Kedua, dari sisi SDM baik tenaga dosen dan alumni harus terus menerus menempa diri. Melakukan ‘studi banding’ dengan perguruan tinggi dengan kualitas lulusan favorit secara formal maupun non formal harus terus dilakukan. Harus diakui kelemahan lulusan IAIN/UIN selama ini jika dibanding lulusan PTU yang paling mencolok adalah di bidang hukum formil, baik hukum acara pidana maupun perdata. Lulusan kalah bersaing ketika bersentuan dengan teknis-teknis hukum dalam pasar kerja, seperti dunia kepengacaraan, dan dunia hukum lainnya. Sebagai bukti, dalam penerimaan hakim-hakim baru lalu sangat jarang lulusan UIN/IAIN yang berani mendaftar sebagai hakim di Peradilan Umum. Ironisnya, pada saat yang sama justru banyak lulusan PTU yang diterima sebagai hakim di Peradilan Agama. Dan, menurut satu sumber yang layak dipercaya, karena alasan standar kualifikasi, peserta tes calon hakim yang diterima di Pengadilan Agama yang didominasi lulusan IAIN/UIN tidak memenuhi kuota seharusnya. Mengapa bisa terjadi? Salah satu faktornya, menurut hemat penulis bermula dari materi kurikulum di Fakultas Syari’ah dan berikut pengajar yang ahli di bidangnya masih relatif kurang.
Muara dari upaya ini adalah agar SDM IAIN dan lulusannya dapat mengukur diri kekurangan yang mungkin ada dan berikut dapat menutup kekurangan tersebut. Kekurangan kualitas Dosen dapat ditutup oleh pihak manajemen dan dosen yang bersangkutan. Sedangkan, kekurangan kualitas lulusan harus ditutup dengan terus menerus belajar bersama-sama rekan-rekan sarjana lulusan fakultas hukum dari PT. Tanpa aktualialisasi diri, pascalulus akan tertinggal. Tokoh-tokoh seperti Din Syamsudin, Nurcholis Madjid, Fadhil Sumadi, dan tokoh-tokoh alumni IAIN lainnya dapat bersaing dengan para alumni PTU karena keberhasilannya beraktualisasi diri baik sejak mahasiswa atau pascalulus. Sebab, gelar kesarjanaan hanyalah sebuah sebuah wadah. Kualitas isi bergantung pemilik wadah. Oleh karena itu, harus terus menerus diisi dengan air baru yang jernih. Sebab, kalau tidak secara terus-menerus diisi wadah tersebut akan hanya terisi oleh air keruh, berlumut, dan berbahu. Bahkan, kalau tidak diisi sama sekali, lama kelamaan air dalam wadah akan habis. Gelar sarjana memang masih melekat dan dibawa ke mana-mana, tetapi ilmu yang berkaitan dengan gelar yang disandang tidak ada sama sekali. Jika selama ini, sarjana hukum masih dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai macan yang menakutkan, karena berkonotasi dengan pengadilan, penjara, dan penangkapan, maka kalau wadah itu ternyata kemudian tidak ada isinya, bisa jadi sarjana hukum yang disandang hanya sebagai “macan ompong” yang tampil dengan gaya seram tetapi tetapi tidak menakutkan sama sekali. Penguasaan hukum dari literatur berbahasa Arab kurang/ hilang, penguasaan hukum dari literatur berbahasa Indonesia pun tanggung. Kalau sudah demikian macan itu tidak hanya ompong melainkan macan ompong dan sedang kena sariawan. Tentunya kita tidak menginginkan Sarjana Hukum dari Fakultas Syari’ah dalam kondisi demikian. Semoga.