SURABAYA – beritalima.com, Prawiro Tedjo dan Wenas Panwell, dua dari tiga pembeli aset Gelora Pancasila diperiksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Dua pengusaha asal Surabaya tersebut diperiksa sebagai saksi. Selasa (27/2/2018)
Didik Farkhan Alisyahdi, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim membenarkan bahwa Prawiro Tedjo dan Wenas Panwell diperiksa sebagai saksi. “Ya (mereka) sedang diperiksa,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Dari informasi yang berhasil dihimpun, Prawiro Tedjo dan Wenas Panwell menjalani pemeriksaan sebagai saksi sejak pukul 09.00 WIB dan terlihat keluar ruangan pemeriksan pada pukul 16.30 WIB. Kedua orang yang dikenal sebagai bos properti di Surabaya ini diduga sebagai pihak yang paling mengetahui praktik korupsi dari aset milik Pemkot Surabaya tersebut. Diperikirakan nilai kerugian dalam kasus korupsi ini mencapai Rp 183 miliar.
Sebelumnya, Pieter Talaway selaku pengacara Prawiro Tedjo, Ridwan Soegijanto dan Wenas Panwel, beranggapan Kejaksaan Tinggi (Kejati) terburu-buru mencekal tiga pengusaha properti sekaligus pemilik Gelora Pancasila tersebut. Menurutnya, keputusan cekal Kejati tersebut tidak mempertimbangkan fakta hukum yang ada. “Kita itu selaku pembeli, tapi pembeli tidak pernah mendapat hak atas objek. Padahal pengadilan sudah proses 10 tahun untuk menentukan siapa yang berhak dan tidak (atas lahan dan bangunan),” kata Pieter dikantornya.
Apalagi lanjut Pieter, pengadilan jelas-jelas memutuskan jika kliennya berhak atas lahan dan gedung yang kini diklaim sebagai aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. “Pengadilan sudah inkrah,” tegasnya.
Sementara untuk perdata, diakui oleh Pieter masih sedang dalam tahap kasasi. “Untuk TUN (Tata Usaha Negara) sudah final, TUN sudah membatalkan sertifikatnya kotamadya. Artinya Kotamadya atau pemkot Surabaya tidak memiliki aset di lahan itu,” lanjutnya.
Pieter bercerita, awal mula kliennya membeli gedung dari yayasan gelora pancasila yang dibangun sejak tahun 1960. “Itu murni swasta, diakui oleh Walikota, diakui oleh Gubernur. Ada surat-suratnya kok. Waktu itu walikotanya Purnomo Kasidi, mengakui bahwa bangunan itu milik swasta,” tandasnya.
Status lahan dijelaskannya adalah milik negara. Dan, secara diam-diam Pemkot mengurus sertifikat hak pakai atas lahan pada tahun 1993. “Hak pakai itu untuk lahan secara keseluruhan, boleh kalau pakai yang kosong, yang ada bangunannya (Gelora Pancasila) itu milik kita diputus TUN itu hak kita,” pungkas Pieter. (Han)