Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Pembahasan mengenai anak menjadi wacana yang nyaris tidak ada habisnya. Terutama, ketika bersentuhan dengan dunia hukum. Bahkan, wacana ini tidak hanya menjadi isu nasional tetapi juga internasional. Di Indonesia, berbagai pengaturan mengenai masalah anak telah dilakukan dengan menerbitkan berbagai aturan, seperti UU Peradilan Anak, UU Perlindungan Anak, dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Untuk kepentingan anak juga telah muncul berbagai lembaga resmi maupun swasta. Kemunculan berbagai lembaga yang manangani dunia anak, bahkan tidak jarang justru ada yang menjadikannya sebagai lahan mencari ‘popularitas’ atau ‘bisnis terselubung’. ‘Ketidaktulusan’ memperjuangkan hak-hak anak tentu merupakan bentuk ironisme eksistensi sebagaian lembaga itu.
Akan tetapi, ternyata masih ada bentuk ironisme lain mengenai anak ini yang sering luput dari perhatian kita. Hal ini diakibatkan oleh persepsi pembahasan mengenai status anak merupakan persoalan yang sudah selesai. Padahal, ketika harus bersentuhan dengan dunia peradilan persoalan ini masih menyisakan sejumlah persoalan, sebagai contoh bagaimana ketika pengadilan dimintai pendapat hukumnya. Pendapat hukum itu tidak lain ialah berupa penetapan mengenai status anak,ketika orang tuanya mengajukan perkara asal-usul anak. Persoalan ini disebabkan 2 hal: pertama, aturan hukum meteriil yang mengelaborasi stutus hukum anak akibat dinamika perkembangan perilaku masyarakat, belum memadai, Kedua, belum cukupnya aturan hukum itu berimbas kepada variasi pendapat hakim. Disparitas keputusan hakim pun, akibat variasi pendapat itu, sering muncul.
Dari bebagai pengalaman, baik dari dialog imajiner antar hakim,maupun penanganan perkara, jelas tampak perbedaan cara pandang para hakim ketika menyikapi pemohonan penetapan asal-usul anak. Rupanya masih banyak hakim yang ketika menangani perkara asal-usul anak menyamakannya dengan perkara itsbat nikah (penetapan sahnya perkawinan). Padahal, dua lembaga hukum itu sangat berbeda. Perbedaan mendasar ialah pada perkara asal-usul anak, pengadilan dimintai pendapat menganai status anak. Sedangkan, pada istbat nikah, pengadilan hanya dimintai pendapat menganai, status pernikahan yang dilakukan oleh Pemohon. Meskipun pada pekara asal-usul anak pengadilan bisa mencakup penelurusan status, tetapi spektrum perkara asal-usul anak bisa lebih luas dari itsbat nikah. Itulah sebabnya, ketika status anak tidak bisa diajukan melalui perkara itsbat nkah, biasanya diajukan melalui lembaga pengakuan anak. Yang jelas, penilaian status pekawinan hanya bersifat hitam putih, yaitu sah atau tidak sah. Sedangkan pada perkara asal-usul anak tidak bersifat hitam putih tetapi, bisa mengacu kepada pada macam-macam status anak.
Anak Dalam Kajian Fiqih
Dalam kajian fiqih Islam, mengenai status anak ini biasanya dibagi menjadi 2 macam: anak syar’i dan anak thabi’i. disebut anak syar’i karena Islam menetapkan hubungan nasab antara anak dan orang tua laki-lakinya. Disebut anak thabi’i karena secara hukum anak dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya, meskipun secara biologis adalah darah dagingnya.
Seorang pakar Fikih kontemporer, al-Zuhaili, mengemukan tiga kategori anak disebut sebagai anak syar’i, yaitu: 1. Anak yang dilahirkan suami istri dari perkawinan yang sah; 2. Anak yang dilahirkan suami istri dalam perkawinan yang fasid, sebelum diketahui (dinyatakan ) kefasidannya, dan 3. Anak yang dilahirkan akibat hubungan syubhat (wathi syubhat).
Anak yang dilahirkan dengan kategori di atas dinamakan anak syar’i yang secara hukum memiliki pertalian nasab dengan orang tua laki-lakinya, sehingga berlaku atas keduanya hak dan kewajiban selaku orang tua, dan sebaliknya.( al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz VII, Beirut Dar al-Fikr, halaman 689).
Suatu perkawinan yang dilakukan pada hal ada larangan perkawinan, maka sejak diketahui adanya larangan tersebut, secara hukum pernikahannya sudah fasid dan haram bagi keduanya melakukan hubungan biologis. Dalam hal demikian, unsur kesengajaan melakukan perkawinan dianggap tidak ada, sehingga hukum hanya berkepentingan memisahkan keduanya. Tindakannnya melakukan hubungan seksual akibat perkawinan itu tidak dikualifikasikan sebagai “jarimah hudud” (delik). Oleh karena itu terhadap perkawinan jenis ini, hukum hanya berkepentingan memisahkannya dan tidak menambahkan hukum had. Meskipun demikian, ketika perkawinan harus diputus demi hukum anak yang dilahirkan akibat perkawinan fasid ini tetap memiliki hubungan nasab dengan bapaknya. Yang demikian berlaku pula bagi anak yang lahir akibat wathi’ syubhat.
Lantas, bagaimana Islam menyikapi anak thabi’i?
Islam mengenal lembaga pengakuan anak atau dikenal iqrar al-walad atau istilhaq. Salah satu manfaat dari istilhaq adalah bagaimana menyantuni anak-anak yang tidak memiliki nasab menjadi terlindungi secara sosial dan hukum. Yang demikian menurutnya, konsekuansi misi syariat Islam mewujudkan keadilan (al-adalah al-ijtima’iyyah). Keadilan dalam konteks ini adalah berangkat dari konsep dasar “setiap anak lahir dalam keadaan fitrah”. Dalam tataran empiris, seorang anak tidak pernah punya pilihan memilih ayah dan ibu yang menjadi media kelahirannya di dunia. Kelahiran anak ke dunia adalah semata-mata kehendak sang pencipta. Lantas, apakah adil ketika harus dihukum secara sosial, akibat lahir dengan cara tidak wajar, akibat perilaku ayah dan ibunya?
Menurut para Ulama, ada 3 syarat sahnya pengakuan untuk dapat menimbulkan hubungan keperdataan:1.Yang mengakui adalah laki-laki yang cakap bertindak hukum;2. Pengakuan itu bisa dibenarkan akal sehat; 3. Pengakuan itu tidak disangkal oleh orang yang diakui. Abdullah Ali Al Husaini menambahkan satu syarat, bahwa pengakuan itu bukan untuk orang lain. Jika 3 syarat itu terpenuhi, maka hukum menetapkan adanya hubungan nasab antara yang mengakui dan yang diakui. Dengan terjalinnya hubungan nasab ini, maka kedua belah memiliki hubungan keperdataan, seperti saling manafkahi, saling mewarisi, dan sebagainya.
Menurut Wahbah al-Zuahily hubungan yang terjadi antara yang mengakui dan yang diakui adanya hubungan “nasab yang semu”, yakni timbul akibat pengakuan. Oleh karena itu, akibat hukum dari iqrar al-walad hanya sebatas hubungan antara yang mengakui yang yang diakui, tidak dengan keluarga yang mengakui.( Al Fiqh al-Islamy, VII, halaman 691 ). Apabila, kita mau menelusuri bebagai literatur fiqih, masih ada variasi pandapat lain, mulai yang konservatif sampai yang “modern”.
Dari wacana di atas, mengenai pemberian status anak ini, tampak jelas,bagaimana pengadilan harus bersikap ketika menghadapi perkara asal-usul anak. Pengadilan tidak boleh terjebak dengan penilaian keabsahan pekawinan orang tua yang biasanya dapat diajukan melalui lembaga itsbat nikah. Akan tetapi, oleh karena hukum materiil menenai wacana di atas, pengadilan yang menerima perkara asal-usul anak, harus terlibat dengan pergulatan pendapat di atas. Yang dimaksud pengadilan dalam wacana ini tidak lain adalah hakim. Dengan modal penguasaan teori hukum yang baik dan wawasan hukum materiil yang cukup diharapkan hakim pemeriksa perkara bisa menemukan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan. Rasa keadilan dituntut dari hakim, tidak hanya bagi anak yang secara naluri memang ‘suci’, tetapi juga yang sesuai dengan perkembangan aspirasi hukum masyarakat modern, terutama dengan hukum positif yang ada dan/atau yang terkait dengannya. Wallahu a’lam.