ACEH, Beritalima.com- 25 Oktober 2016. Sidang gugatan GeRAM terhadap Mendagri, Pemerintah Aceh, DPR Aceh atas penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Tata Ruang Aceh telah memasuki tahap kesimpulan, digelar 25 Oktober 2016 hari ini, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Masing-masing pihak penggugat, dan tergugat telah menyampaikan kesimpulan dari persidangan yang berlangsung hampir setahun.
Apa yang disampaikan para tergugat dalam kesimpulan-nya, menurut Harli Muin, kuasa hukum GeRAM, sama sekali tidak dapat membuktikan bahwa penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional, memiliki alasan yang kuat secara hukum. Sebab penyusunan Ruang dilakukan dengan cara berjenjang dari atas kebawa.
Artinya, lanjut Harli Muin, tata ruang provinsi wajib mengacu pada tata ruang nasional. Sementara di dalam Qanun Aceh No.19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh, kawasan strategis KEL dihapus dari tata ruang Provinsi Aceh.
Selanjutnya, dalam pasal 150 ayat 2 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi dilarang mengelaurkan izin. Penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional di Aceh, kata Harli Muin memberi kebebasan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten di Aceh dapat mengeluarkan izin.
Penghapusan tanggung-jawab pemerintah ini, lanjut Harli Muin, bertetangan dengan UUPA, sejarah pembentukan KEL—yang bersumber dari usulan para Ule Balang dan Datok untuk melindungi KEL dari ancaman ekspansi perkebunan skala besar—pada zaman Pemerintahan Hindia Belada,
Kini ancaman itu kembali terbuka, menurut Harli Muin, jika sebelumnya adalah Pemerintahan Kolonial, kali ini adalah pemerintahan sendiri. Padahal KEL, dimaksudkan untuk melindungi tata guna air di kawasan Leuser .
Selanjutnya, mengenai Qanun Aceh No.19 tahun 2013 ini, proses pelibatan masyarakat pada awal pembuatan rancangan Qanun, kata Harli Muin, tidak menyentuh filosofis dasar pelibatan masyarakat. Menurutnya, memang benar masyarakat terlibat, akan tetapi pelibatan ini hanya melibatkan secara kuantitas, sementara kualitas berupa masukkan masyarakat tidak pernah di akomodasi. Usulan mengenai KEL misalnya, berkali-kali diusulkan masyarakat untuk dimasukkan dalam RTRW Aceh 2013-2033, tetapi DPRA dan Pemerintah Aceh tidak pernah mendengarkan.
Misalnya, menurut Harli Muin, TM. Zulfikar, anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), memang dilibtakan, hanya sekali—sesudah itu tidak pernah lagi diundang pemrakarsa qanun ini.
Saksi Fakta lain, Asnawi, Imeum Mukim Aceh Besar, saksi Fakta dalam gugatan ini,kata Harli Muin mengakui sama sekali tidak pernah dilibatkan. Padahal pak Asnawi adalah Mukim—yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan ruang di wilayah mukim.
“Menteri Dalam Negeri, sebagai lembaga yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah tidak mencabut Qanun Aceh No.19 tahun 201 yang nyata-nyata bertetangan dengan pasal 15 Permendagri no.28 tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah. Padahal jika tak dicabut, Qanun tersebut akan terus merugikan kepentingan umum atas penghapusan KEL, ” tegas Harli Muin
“ Medagri juga mengabaikan surat evaluasi—yang dibuatnya sendiri—terhadap Qanun Aceh No.19 tahun 2013. Dalam hasil evaluasi itu, disebutkan dalam Diktum ke-4, jika tidak mematuhi hasil evaluasi, Mendagri mencabut Qanun Aceh tersebut. Akan tetapi hingga disahkan, Mendagri tidak pernah melaksanakan kewenangannya,” sambung Harli Muin, ‘’(**)