JAKARTA, beritalima.com | Pemerintah mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dapat dimasukkan ke dalam target RUU yang harus diselesaikan bersama dengan DPR periode 2014-2019. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, semangat di antara kementerian dan lembaga pemerintahan sudah sama dalam mengupayakan pengesahan RUU PKS ini.
“Saya sudah meminta kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk memasukkan RUU PKS ini sebagai salah satu target yang harus diselesaikan bersama dengan DPR. Selain itu, komunikasi dengan beberapa anggota DPR juga sudah dilakukan,” ujar Moeldoko dalam rapat koordinasi dengan pejabat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemenkumham, Kemendagri, dan Komnas Perempuan di Bina Graha, 16 September 2019.
Ia menambahkan, sinkronisasi terhadap Daftar Isian Masalah (DIM) juga sudah diselesaikan sehingga pemerintah akan berusaha semaksimal mungkin untuk menetapkan RUU ini menjadi Undang-undang dalam waktu yang singkat.
RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPR kepada pemerintah untuk dibahas dan diselesaikan bersama dalam rangka membangun peradaban baru yang memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual. Selama ini, kasus-kasus kekerasan seksual seperti yang dialami oleh Baiq Nuril yang sudah mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo, sulit untuk diselesaikan dengan UU KUHP biasa.
KUHAP menetapkan 5 alat bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. RUU PKS kemudian memasukkan alat bukti tambahan antara lain keterangan korban, surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen, pemeriksaan rekening bank. Dengan adanya alat bukti tambahan ini, korban mendapatkan peluang untuk mendapatkan keadilan sebagai pemenuhan syarat pembuktian.
RUU ini juga memberikan bantuan pemulihan kepada korban sebelum dan selama proses peradilan serta setelah proses peradilan, sehingga korban yang mengalami kekerasan seksual dapat terhindar dari dampak yang serius dan traumatik sepanjang hidup mereka. Selama ini, dalam banyak kasus, korban-korban kekerasan seksual justru memilih melakukan bunuh diri.
Yang lebih penting dari itu, RUU PKS yang penting didorong pengesahannya segera tersebut juga memberikan tindakan pencegahan sehingga dapat menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya kekerasan seksual dan memastikan tidak berulangnya tindak kekerasan seksual tersebut.
Azriana, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan, kampanye negatif dalam bentuk penyesatan informasi atas RUU ini sangat masif dilakukan. “Misalnya saja bahwa RUU ini akan melanggengkan atau melegalkan praktik zina dan perilaku LGBT,” ujarnya. Padahal, Komnas Perempuan tidak melihat adanya satu pasal pun di dalam RUU PKS yang menyatakan zina diperbolehkan. Tuduhan dan informasi semacam itu sangat tidak logis dan tidak berdasar.
Selain itu, RUU ini juga dituding justru akan meningkatkan penyebaran penyakit HIV-AIDS di Indonesia. Padahal, RUU ini justru melindungi perempuan terhadap otoritas tubuhnya dan sekaligus otonominya sebagai manusia dan menjadi bagian dari penghargaan atas diri perempuan sebagai manusia.
Azriana juga menambahkan bahwa RUU PKS ini apabila segera diundangkan, dapat mengubah praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan seksual, sekaligus mengubah budaya kekerasan yang telah berurat akar selama puluhan tahun dalam kesadaran masyarakat. “Ini akan mengubah peradaban,” ujarnya.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodawardhani menambahkan, semangat RUU PKS ini adalah membangun dan mengubah peradaban manusia. Oleh karena itu, melalui Kantor Staf Presiden ia akan mengupayakan supaya kementerian yang terkait dengan RUU ini dapat melakukan langkah paling maksimal dalam sisa waktu yang terbatas.