Pemerintah Perlu Ekstra Hati-hati, Karena Resesi Akan Lebih Banyak Didorong Oleh Faktor Non Ekonomi

  • Whatsapp

Jakarta — – Pemerintah diminta ekstra hati-hati dalam membuat kebijakan, terutama dalam pengelolaan belanja yang tidak produktif, karena akan berdampak serius pada perekonomian.

Sikap kehati-hatian ini, akan menghindarkan Indonesia dari jeratan jurang resesi atau krisis ekonomi seperti yang terjadi tahun 1998 lalu.

“Kita masih tertolong dengan adanya windfall, keuntungan kenaikan harga komoditas. Tapi komoditas ini, tidak dalam kendali kita, setiap saat bisa pergi,” kata Anis Matta dalam Gelora Tak bertajuk ‘Ancaman Resesi Global Mengintai, Bagaimana Indonesia Menghadapinya?’, Rabu (20/7/2022) sore.

Menurut Anis Matta, ekonomi Indonesia saat ini tidak benar-benar aman dari resesi. Sehingga pemerintah tidak perlu melakukan pembelaan diri sekedar memberikan rasa aman kepada publik, bahwa Indonesia tidak akan terkena Resesi.

“Jauh sebelum krisis ekonomi tahun 1998 meledak, kita selalu mendengar satu mantra dari para ekonom, bahwa fundamental ekonomi kita kuat. Tapi kenyataannya, kita terkena krisis dan tiba-tiba mantra-mantra itu hilang,” ujar Anis Matta.

Upaya itu, kata Anis Matta, saat ini dicoba diulangi lagi oleh pemerintah sekarang dengan mengatakan, bahwa potensi Indonesia kecil terkena resesi.

“Apakah mantra itu, sama yang kita baca sekarang atau tidak, nanti kita lihat, karena krisis punya cara kerja sendiri. Tapi yang kita saksikan setiap hari, adalah wajah-wajah publik yang semakin galau, semakin frustrasi dan semakin kehilangan harapan,” katanya.

Anis Matta menegaskan, krisis berlarut saat ini akan terus membuat ledakan dan benturan demi benturan yang tidak terduga. Benturan ini akan menciptakan pecahan-pecahan peristiwa besar.

Krisis ekonom saat ini, lanjutnya, selain memilliki sifat sistemik juga dipengaruhi banyak faktor geopolitik seperti perang supremasi antara Amerika Serikat-Rusia, yang berdampak pada harga komoditas secara global.

“Banyak negara mengalami goncangan yang politik yang luar biasa akibat krisis ekonomi. Persoalan kita sebagai bangsa pada sisi konflik supremasi ini, kita sangat mungkin bisa menjadi collateral damage,” tandasnya.

Karena itu, Anis Matta berharap pemerintah mampu membaca arah krisis secara global, seperti kemana arah selanjutnyna dan dimana titik aman Indonesia agar tidak menjadi collateral demage.

“Dalam konteks ini, Partai Gelora meminta pemerintah membaca situasi kita secara lebih lengkap dalam pengelolaan situasi makro dengan tidak membenarkan pemborosan anggaran dalam belanja kita. Itu satu kesalahan yang sangat besar,” tegasnya.

Managing Director Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, ekonomi Indonesia saat ini sedang menuju resesi. Indikasinya, inflasi tinggi, harga-harga melonjak dan utamanya harga komoditas dunia.

“Indonesia bergantung pada The Fed (Bank Sentra AS) untuk penentuan suku bunga. Sehingga pemerintah harus waspada apabila suku bunga dinaikkan, karena akan berpengaruh pada pelemahan rupiah dan harga komoditas yang menurun. Tentu ini, akan sangat menyulitkan kembali bagi Indonesia,” kata Anthony.

Hal senada disampaikan Fuad Bawazier, Menteri Keuangan RI Tahun 1998. Fuad menilai perekonomian nasional masih terasa nyaman karena diuntungkan faktor eksternal yakni kenaikan harga komoditas dunia.

“Kalau ini kemudian jatuh harganya, bagaimana? dan kemungkinannya pasti ada, bisa akhir atau awal tahun 2023 bisa saja. Kalau ini terjadi, semua akan drop, bakal kalang kabut,” kata Fuad.

Fuad berharap pemerintah segera membenahi pengeluaran yang tidak perlu atau tidak penting, karena akan membebani APBN seperti proyek pembanguna Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kerata Api Cepat Jakarta Bandung dan lain-lain. (ar)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait