Pemilik Aji Pancasona Yang ‘Tak Bisa Mati’ Ternyata Ipar RA. Kartini

  • Whatsapp

BLITAR, beritalima.com- Aji Pancasona, lebih dikenal di dunia pewayangan dalam Epos Ramayana. Konon, satu-satunya pemilik Aji Pancasona adalah bangsa kera bernama Subali, yang juga saudara kembar Sugriwa. Namun karena rayuan Rahwana, kemudian ilmu tersebut jatuh ke tangan raja Alengka itu. Konon pula, seperti namanya, Pancasona (Panca yang artinya lima, Sona artinya anjing) siapa yang memiliki ilmu itu, dapat hidup kembali walau sudah mati. Asal tidak lebih dari lima kali.

Di Nusantara, konon pemilik Aji Pancasona, yang terdeteksi hanya seorang tokoh bernama Joyodigdo. Tokoh tersebut makamnya berada di Jalan Melati, Kota Blitar, Jawa Timur, atau berjarak sekitar dua kilometer arah selatan makam sang proklamator, Ir. Soekarno.

Menurut salah satu warga setempat, Pandi, karena mempunyai Aji Pancasona, ketika meninggal, jasad Eyang Joyodigdo dimakamkan dengan cara disangga atau tidak menyentuh tanah. Dengan madsud agar tidak hidup kembali. Karena itu, nama makam tersebut lebih dikenal dengan nama, Makam Gantung.

“Siapa yang mempunyai Aji Pancasona, konon katanya khan kalau mati tapi masih menyentuh tanah, hidup lagi. Karena itu, jasad Eyang Joyodigdo disangga dengan empat tiang besi, agar tidak hidup lagi,” kata Pandi, kepada beritalima.com.

Lalu bagaimana Aji Pancasona bisa dikuasai oleh Eyang Joyodigo? Menurutnya lagi, semasa hidup, tokoh ini dikenal suka laku tirakat. Berbagai macam ilmu telah dikuasai. Bahkan gurunya, tak hanya dari bangsa manusia saja. Tapi ada juga yang berasal dari bangsa lelembut.

“Tak heran, jika Eyang Joyodigo bisa menguasai ilmu Aji Pancasona yang pemilik aslinya, tinggal cerita.
Beliau semasa hidupnya, juga berguru kepada sosok gaib pemilik pertama Aji Pancasona,” terang Pandi.

Lalu siapa sebenarnya Eyang Joyodigo? Tokoh ini dulunya sahabat dekat Pangeran Diponegoro. Tak hanya sekedar sahabat. Karena Joyodigdo juga trah darah biru dari Mataram. Ketika pada tahun 1825 timbul perselisihan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro, Joyodigdo turut membantu sahabatnya itu.

Selama dalam masa perang Diponegoro yang berlangsung lima tahun (1825-1830), salah satu pengikut pangeran Diponegoro yang setia yakni, Joyodigo. Bersama Diponegoro, Joyodigdo terus melakukan perlawanan kepada Belanda.

Tak hanya sekali, tokoh sakti ini tertangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang oleh Belanda, Joyodigdo hidup lagi tanpa sepengetahuan kompeni.

Hingga pada akhirnya, di tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap karena siasat licik pihak kompeni. Namun walau Pangeran Diponegoro telah diasingkan ke Makasar setelah tertangkap, bukan berarti darah pejuang Joyodigdo, padam.

Walau saat Diponegoro diasingkan, ia terus melakukan perang gerilya bersama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta terlalu banyak penjagaan oleh kompeni, Joyodigdo memilih melakukan perang gerilya menuju arah timur.

Singkat kata, dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda yang lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Joyodigyo di wilayah Blitar. Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa Blitar saat itu, Joyodigdo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Merasa wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati Blitar saat itu, mengirim pasukan telik sandi (intelijen) untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar. Hingga pada akhirnya, telik sandi yang dikirim oleh sang Adipati, menemukan Joyodigdo di sebuah hutan yang masuk wilayah Blitar Selatan. Atas perintah Adipati Blitar, telik sandi mengundang Joyodigdo untuk datang ke pendopo.

Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus. Alasan Joyodigdo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir kompeni. Karena tolakan halus dari Joyodigo ini, kemudian telik sandi langsung pulang dan melapor kepada Adipati. Dua tahun kemudian, Adipati Blitar kembali mengirim utusan. Saat itu, patih di kadipaten Blitar mangkat dan harus segera dicarikan pengganti.

Maksud Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Joyodigo bersedia menjadi patih di kadipaten Blitar. Dan karena banyak pihak kompeni yang meninggalkan Blitar karena serangan gerilya pasukan Joyodigdo, tokoh ini bersedia menerima tawaran Adipati Blitar.

Sebagai seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton, ketika diangkat menjadi patih di kadipaten Blitar, Joyodigdo sudah tak asing lagi dengan pemerintahan. Patih Joyodigdo mampu mengambil kebijakan yang sangat cakap.

Hal inilah yang membuat salut Adipati Blitar. Karena kecakapan ini, kemudian Adipati Blitar memberinya tanah perdikan yang sekarang berada di Jalan Melati Kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigdo kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama, Pesanggrahan Joyodigdo.

Rumah yang didirikan oleh Joyodigo ini, hingga kini masih berdiri kokoh. Sebagai manusia biasa, walau mempunyai Aji Pancasona, Joyodigdo akhirnya wafat pada tahun 1905 diusia seratus tahun lebih. Karena khawatir akan hidup lagi begitu menyentuh bumi, kemudian oleh para kerabat, makamnya diusahakan agar tidak menyentuh tanah. Jasad Joyodigdo dimasukkan kedalam peti besi, dan peti itu kemudian disangga dengan empat tiang yang juga terbuat dari besi seperti yang tampak sekarang ini.

“Konon ceritanya seperti itu. Diusia yang sudah lebih seratus tahun, kan kasihan kalau Eyang Joyodigdo terus menerus hidup lagi setelah meninggal. Karena itu, makamnya dibuat menggantung agar tidak menyentuh tanah. Tapi ada juga yang mengatakan, jika Eyang Joyodidgo sebenarnya tetap dimakamkan secara wajar atau dikebumikan. Sedangkan yang diatas itu, busananya. Mana yang benar, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, nama makam Eyang Joyodigdo disebut Makam Gantung. Eyang Joyodigdo ini, juga saudara mantan bupati Rembang yang juga suami dari RA. Kartini,” terang Pandi.

Sebagai makam seorang tokoh sakti pada jamannya, kini makam Eyang Joyodigo pada hari-hari tertentu banyak didatangi oleh para peziarah. Terutama yang datang dari kalangan spiritualis. Beda dengan para peziarah biasa, kaum spiritualis ini datang ke makam Eyang Joyodigo dengan maksud tertentu.

Yakni ingin berguru kepada Eyang Joyodigo dengan cara gaib. Tujuannya, agar mendapat titisan ilmu Aji Pancasona. Namun tak seorangpun spiritualis yang berhasil mendapatkan titisan ilmu Aji Pancasona dari Eyang Joyodigo. Jangankan diberi titisan ilmu Aji Pancasona, diberi ilmu yang kesaktiannya dibawah Aji Pancasona saja, tidak. Bahkan tak jarang, para spiritualis yang sedang menjalani laku di makam Eyang Joyodigo, justru diusir dengan suara tanpa rupa.

“Apa dikira mudah belajar ilmu Pancasona. Karena salah satu syaratnya yaitu harus bertapa ngalong. Menggantung di pohon dengan kepala di bawah selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan dan minum. Yang datang ke sini itu khan cuma spiritualis masa kini. Mereka bukannya mendapat ilmu, tapi justru diusir,” lanjutnya.

Bagi sebagian masyarakat Blitar, makam Eyang Joyodigdo dikeramatkan. Sebagai makam yang dikeramatkan, makam Eyang Joyodigdo konon dijaga dua sosok gaib berujud dua binatang besar. Yakni seekor ular sebesar batang pohon kelapa serta seekor harimau loreng sebesar anak sapi.

“Sebenarnya dua sosok gaib penjaga makam ini, dulunya merupakan pengawal pribadi Eyang Joyodigdo semasa hidup yang berasal dari bangsa lelembut berujud binatang. Karena kesetiaannya kepada majikan, hingga Eyang Joyodigo wafat, kedua sosok gaib itu masih setia menunggui makam majikannya,” kata Pandi, mengakhiri ceritanya. (Rohman/Dibyo).

Makam Eyang Joyodigdo (Foto:Dibyo/beritalima.com)

beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *