Pemilik Rumah di Graha Family Berharap Eksekusi Ditunda, Masih Ada Gugatan Perlawanan

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Merasa terzolimi lantaran rumahnya yang berlokasi di Komplek Graha Family Blok U-06, Kelurahan Babatan, Kecamatan Wiyung, Surabaya akan di eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Wiliam Prihaksono menuntut keadilan.

Selain mengirim surat keberatan atas eksekusi ke PN Surabaya, Wiliam juga melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya melalui surat nomor 7583/PAN.PN.W14.U1/HK2/4/VIII/2024 telah mengirimkan pemberitahuan pelaksanaan eksekusi pengosongan perkara Nomor 50/Eks/2024/PN.Sby kepada Wiliam Prihaksono.

Pengosongan tanah dan bangunan di Graha Family Blok U-06 Kelurahan Babatan, Kecamatan Wiyung, kota Surabaya akan dilaksanakan pada Kamis, 5 September 2024 setelah beralih haknya menjadi atas nama pemenang lelang yakni Wiwin Indarto, warga Graha Family Blok SS Nomer 23-25, Kelurahan Babatan, Kecamatan Wiyung, kota Surabaya.

Arif Budi Prasetyo, kuasa hukum Suzanne Prilany mengatakan, PN Surabaya mengirimkan surat pemberitahuan eksekusi terhadap rumah Wiliam yang rencananya akan dilakukan pada 5 September 2024. Padahal, Wiliam telah mengajukan gugatan perlawanan ke PN Surabaya dengan nomer perkara 858/Pdt-Bth/2024/PN.Sby.

Arif menambahkan, Wiliam juga telah melayangkan laporan ke Komisi Yudisial Nomor 0657/VIII/2024/P dan Nomor 0658/VIII/2024/P pada 23 Agustus 2024 dan Bawas Mahkamah Agung pada 22 Agustus 2024.

“Kami juga telah mengajukan gugatan perlawanan atau Derden Verset. Intinya penundaan pelaksanaan eksekusi. Sebab gugatan kami baru mulai,” katanya kepada wartawan, Minggu (1/9/2024).

Selain gugatan yang diajukan Wiliam, tanah dan rumah seluas 448 meter persegi tersebut juga masih dalam proses gugatan perdata dengan nomor perkara 220/Pdt.G/2024/PN.Sby dan 409/Pdt.G/2024/PN.Sby.

“Gugatan-gugatan tersebut belum ada yang inckraht atau berkekuatan hukum tetap,” tuturnya.

Menurut Arif, dengan adanya gugatan-gugatan perdata tersebut, seharusnya Ketua PN Surabaya melakukan penundaan eksekusi lebih dulu atas rumah Wiliam. Hal itu diperkuat dengan pernyataan dari Komisioner KY Mulyadi Nur, yang menyebut bahwa eksekusi wajib ditunda hingga gugatan yang lain tersebut berkekuatan hukum tetap.

Namun bukannya menunggu gugatan yang diajukan Wiliam memiliki kekuatan hukum tetap, Ketua PN Surabaya ternyata justru mengeluarkan penetapan eksekusi.

“Ternyata Ketua PN Surabaya mengeluarkan penetapan. Berdasarkan Prejudicieel Geschil, SEMA Nomor 4 tahun 1980, seharusnya Ketua PN Surabaya menunggu gugatan inckraht lebih dulu sebelum melakukan eksekusi,” lanjutnya.

Saat ditanya bagaimana pendapatnya jika eksekusi terhadap rumah klienya tetap dilaksanakan, Arif menilai hal itu sebagai pelanggaran kode etik hakim.

“Berarti Ketua PN Surabaya patut diduga telah melakukan pelanggaran kode etik hakim,” tegas Arif.

Sementara itu, Wiliam Prihaksono menceritakan bagaimana awal mula rumahnya dieksekusi. Awalnya rumah miliknya dijaminkan ke Bank Danamon dengan nilai pinjaman sebesar Rp 15 miliar.

Namun lantaran terjadi kredit macet atas pinjaman tersebut, kemudian Bank Danamon melakukan cessie atau mengalihkan hak tagih ke Sudiantowi Limanauw tanpa seizin dirinya.

“Saya dulu jaminkan rumah itu sekitar Rp 15 miliar Saya dengar di cessie ke Sugianto sekitar di angka Rp 6 miliar atau Rp 7 miliar. Jadi di sini pun saya dirugikan karena sisa hutang saya masih nyantol di Danamon. Nah. Karena nilainya terlalu kecil, maka saya ajukan gugatan dengan nomor perkara 220/Pdt.G/2024/PN.Sby dan 409/Pdt.G/2024/PN.Sby. Padahal nilai appraisal rumah saya Rp 15,5 miliar. Sedangkan gugatan ini belum incraht,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Wiliam juga mengeluhkan rencana eksekusi terhadap rumah yang berjalan begitu super cepat.

“Dari surat sampai pelaksanaan eksekusi kami cuma diberi waktu 8 hari. Padahal normalnya, setahu saya paling sedikit satu bulan dari keluarnya penetapan. Rencana eksekusi ini pun janggal tanpa melalui proses konstatering (pencocokan lokasi),” keluhnya.

Wiliam pun berharap, Ketua PN Surabaya Dadi Rachmadi lebih bijaksana dan memiliki hati nurani untuk menunda eksekusi terhadap rumahnya hingga gugatan perdata yang diajukannya berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

“Ya sesuai sesuai omongan Komisioner KY seharusnya hakim atau Ketua PN Surabaya menunggu sampai putusan ini inkracht. Karena Komisioner KY pun bilang kalau sampai dilakukan eksekusi berarti ada pelanggaran kode etik hakim,” pungkas Wiliam. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait