MADIUN, beritalima.com- Kasus gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait sengketa tanah yang dilayangkan Samsi, warga RT 041 RW 008, Desa Rejosari, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, yang diwakili kuasa hukumnya, Budi Haryana, SH dan Drs. Sarbun Susanto, SH selaku penggugat, dengan tergugat Suwaji, alamat sama dengan penggugat yang diwakili kuasa hukumnya, Usman Baraja, SH.MH, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Madiun selaku turut tergugat I, dan Kepala Desa Rejosari selaku turut tergugat II, telah diputus oleh Pengadilan Negeri setempat.
Dalam amar putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang memeriksa perkara ini menyatakan perkara tidak dapat diterima atau N.O (Niet Ontvankelijk Verklaard). N.O, adalah putusan yang diberikan kepada sebuah gugatan yang memiliki arti gugatan tidak dapat diterima, diantaranya dengan alasan cacat formil, serta ne bis in idem.
Dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Yakni, apabila terhadap perkara dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.
Pelaksanaan asas nebis in idem ini juga ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem, demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.
Masalahnya, perkara ini sudah pernah diajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, 30 Oktober 2023, lalu. Saat itu, yang mengajukan gugatan juga Samsi selaku penggugat I dan istrinya, Nani Darmaningsih selaku penggugat II, dengan tergugat sama, yakni Samsi. Pun, obyek gugatan juga sama.
Namun gugatan pertama, dipatahkan dengan eksepsi kuasa hukum tergugat, yang saat itu juga dipegang oleh Usman Baraja, SH.MH. Karena, eksepsi tergugat diterima oleh majelis hakim. Hingga pada akhirnya, dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun tidak berwenang memeriksa perkara tersebut dengan alasan wewenang PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara-red).
“Alhamdulillah, dua kali perkara ini diajukan oleh penggugat, saya menang terus. Pertama eksepsi saya diterima. Majelis hakim mengabulkan eksepsi saya dan menyatakan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun tidak berwenang mengadili perkara ini. Penggugat, kemudian mengajukan gugatan lagi, namun di N.O oleh majelis hakim,” ucap Usman Baraja, SH.MH, dari kantor Ub & Partners, Minggu 8 Desember 2024.
“Dengan putusan N.O ini, saya sebagai kuasa hukum tergugat tidak mengklaim saya cerdas dan pintar dalam memenangkan perkara. Tapi media yang bisa menilai kapasitas saya sebagai lawyer (pengacara-red),” tambahnya.
Dalam pengamatan beritalima.com, memang pengacara yang biasa menangani kasus kasus besar dan rumit ini, sering menang ketika beracara di pengadilan. Khususnya perkara perdata.
Dengan putusan ini, jika penggugat tak mengajukan banding, maka perkara dinyatakan incracht atau telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Otomatis, tergugat telah memenangkan perkara tersebut dan sah sebagai pemilik atas obyek.
Perkara gugatan PMH ini bergulir ke meja hijau (pengadilan) berawal dari pembelian tanah oleh tergugat dari almarhum Mat Salim, yang diduga tanpa sepengetahuan anak almarhum. Setelah dibeli, kemudian oleh tergugat dibalik nama melalui program Prona, (Proyek Operasi Nasional Agraria-red) yang kini menjadi program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Karena menyertifikatkan tanah lewat program tersebut, tidak dipungut biaya.
Namun versi penggugat dalam gugatannya, tanah yang telah bersertifikat Nomor 1134 atas nama tergugat tersebut, berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau slip Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan Nomor 36.19.010.011.001.0067.0, atas nama penggugat I. Sedangkan dalam Letter C Desa Nomor 23, atas nama orang tua penggugat I, yakni almarhum Mat Salim.
Masih menurut versi penggugat, obyek tersebut didapat dari membeli tanah warisan dari saudara penggugat I yang sebelumnya milik orang tuanya, dengan cara nyusuk,i (memberi uang pengganti-red) kepada saudara saudara kandungnya.
Tapi, berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/1997 menyatakan, bahwa, hanya sertifikat yang merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya. Sepanjang, data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Dengan kata lain, slip SPPT atau bukti PBB bukanlah bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya bukti pembayaran pajak. (Dibyo).
Ket. Foto: Usman Baraja, SH, MH.