JAKARTA, Beritalima.com – Pemerintahan Dan DPR-RI Saat ini dengan hoboh dengan Cacatan pendek dari Penulis Derek Manangka menjadi Sosial Media Akun facebook yan menjadi Viral.
Anak Negeri ini sedang Menggodok RUU Pemilu Sejauh Yang Bisa di Pantau Dari Luar Gedung DPR-RI,Salah Satu Isi Yang Paling Baru adalah Bergantinya Sistem Pelaksaan Pemilu.
Pemilu serentak 2019 ini nantinya benar benar separuh liberal merupakan penerapan dari UUD 45 hasil amandemen tahun
2002.
Berhubung sistem separuh liberal ini, ditengarai sudah melahirkan demokrasi kebablasan, lalu muncul keinginan untuk memberlakukan kembali UUD 45 yang asli.
UUD yang belum diamandemen, dirasakan sangat perlu dan senafas dengan Panca Sila.
Artinya dengan diberlalukannya kembali UUD 45 yang asli, terjadi sinkronisasi antara Panca Sila dan UUD 45.
Itulah sebabnya, jika betul pemilu 2019 akan meniru sistem pemilu Amerika Serikat, hal ini bisa diartikan bahwa para elit politisi kita yang membahas RUU Pemilu saat ini, tidak cukup peka.
Atau mereka tidak memahami persoalan politik yang tengah dihadapi bangsa dan negara saat ini.
Lebih radikal lagi kalau disebut – bisa jadi juga para pembahas RUU Pemilu 2019 ini, menjadi agen dari sebuah negara liberal entah itu Amerika atau negara lain.
Kita mengetahui atau sudah menjadi rahasia umum, sejak reformasi 1998, agen-agen demokrasi negara liberal memang ingin merubah sistem politik Indonesia secara fundamental.
Terdapat sejumlah LSM lokal yang dibiayai lembaga asing seperti Ford Foundation misalnya.
Atau ada juga dari partei politik seperti Partai Republik dan Partai Demokrat
– kebetulan keduanya dari Amerika.
Mereka menggunakan para intelektual Indonesia untuk mengkonsep berbagai RUU.
Para agen lokal ini bahkan ada yang berhasil masuk menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Sehingga dengan latar belakang ini semakin kuat kesan bahwa di antara para pembuat RUU Pemilu 2019 ini boleh jadi ada yang berniat menggiring Indonesia menjadi sebuah negara liberal.
Sebuah sistem yang meninggalkan jatih diri bangsa Indonesia.
Inilah sebabnya perubahan sistem politik ini tidak berlebihan jika disebut sebuah perjudian politik yang penuh resiko.
Penuh resiko, sebab sistemnya merubah secara mendasar sistem politik Indonesia tapi tidak ada yang mengantisipasinya.
Pelaksanaan Pemilu 2019 tinggal dua tahun, tapi pembahasannya saja belum selesai.
Sehingga tanpa pemahaman yang jelas apa dan bagaimana Pemilu Serentak itu, masyarakat sudah harus menerimanya.
Ibarat kita membeli sebuah barang baru.
Kita percaya saja apa kata si penjual tentang isinya. Bayangkan, selain RUU-nya entah kapan menjadi UU, sosialisasinya saja belum terdengar sama sekali.
Masyarakat seolah di- “fait accomply”, dipaksa menerima sebuah pilihan karena hanya itu satu-satunya pilihan yang ditawarkan.
Padahal sudah terbukti, sistem pemilu yang kita laksanakan sejak 2004, masih banyak kelemahannya. Dan kelemahan itulah yang antara lain menimbulkan gonjing-ganjing politik yang tak ada hentinya.
Diakui ada tidak, suasana politik yang disiratkan oleh gonjang ganjing itu antara lain: ada pihak yang kalah dalam sebuah perebutan posisi, tetapi yang bersangkutan tetap merasa sebagai pemenang.
Atau ada pihak yang sudah dinyatakan menang, tapi masih tetap merasa gusar.
Ada lagi pihak yang tidak menang dan tidak juga kalah – karena tidak bertarung dalam perebutan posisi, namun merasa sebagai “King Maker”, pihak yang bisa mengatur kedua-duanya: yang kalah dan yang menang.
Yang cukup sulit nanti mungkin lembaga KPU. Sebagai sebuah lembaga independen yang menjadi pelaksana dari semua pemilu, harus siap menanggung semua resiko dan dampak negatif dari Pemilu ‘ala’ Amerika.
Selain itu menjadi tanda-tanya besar, apakah KPU juga dapat dengan mudah dan cepat mengadopsi sistem Pemilu yang baru tersebut ?
Mengingat hampir semua personalia KPU berwajah baru. Salah satu resiko yang belum diperhitungkan mungkin, misalnya,
bagaimana mengamankan hasil Pemilu 2019 jika terjadi sengketa dalam perhitungan suara baik untuk kursi anggota DPR, Senator dan Presiden.
Apakah bisa dilakukan Pilpres Ulang dan Pilkada Ulang seperti dalam Pilkada belakangan ini, manakala terjadi sengketa ?
Bukannya apriori atau terlanjur curiga, 19 tahun sudah kita berada dalam era reformasi, tapi kita tidak pernah sadar bahwa usaha memecah Indonesia melalui perubahan sistem yang tiada henti, terus dan sedang terjadi. Sejumlah elit berbicata tentang bahaya “war by proxy”. Sayangnya pemahaman mereka hanya sebatas pada apa yang benar-benar seperti
Sebuah perang. Perang yang bertujuan menghancurkan Indonesia dengan perubahan sistem politik, melalui pelaksanaan nampaknya tidak dianggap sebagai
sebuah “war by proxy”.
Kita tidak henti-hentinya digoda melakukan reformasi, perubahan dan pembongkaran semua sistem. Kita dibuat sibuk membahas sistem politik, seakan-akan kita baru saja merdeka tahun 2014.
Dengan kesibukan itu enerji, biaya dan tingkat kreatifitas bangsa hanya terfokus pada perubahan dan pembongkaran. Pertanyaannya, sampai kapan nafsu merubah dan membongkar yang kontra produktif ini berhenti ?
Sebaliknya kalau saya Presiden, saya tidak takut akan membatalkan pembahasan RUU Pemilu 2019.
Indonesia tak akan kiamat hanya karena pembatalan sebuah RUU yang berbahaya bagi masa deopan bangsa.(cristy)