Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak, sudah dilaksanakan 17 April 2019 lalu. Saat ini sedang berlangsung, penghitungan suara yang dijadwalkan berakhir 22 Mei 2019.
Pemilu serentak ini bukan “baik”, sebab ternoda oleh berbagai hal. Selain menimbulkan kerawanan keamanan dan ketertiban masyarakat, juga menimbulkan perpecahan.
Dan yang cukup mengenaskan dan memprihatinkan terjadi peristiwa menyedihkan. Banyak korban jiwa terhadap petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).
Tragis memang, sebab terjadi kematian ratusan petugas KPPS Pemilu 2019 itu. Mereka menemui ajal akibat kelelahan bekerja melampau kepatutan.
Mereka meninggal dunia, saat melaksanakan tugas negara sebagai penyelenggara Pemilu di tingkat paling dasar.
Pemilu 2019 ini, untuk pertamakalinya dilaksanakan serentak, yakni Pemilihan Presiden {Pilpres) bersamaan dengan Permilihan Legislatif (Pileg). Sebelumnya, pada Pemilu terdahulu berlangsung terpisah.
Pileg diselenggarakan lebih dahulu daripada Pilpres. Sebab, dari hasil Pileg itulah, diperoleh calon presiden/wakil presiden, yang ditentukan dengan apa yang disebut “ambang batas presiden” atau Presidential Treshold (PT).
Nah, mengapa ada perubahan sistem pelaksanaan Pemilu ini? Ternyata “biang keroknya” adalah pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Effendi Ghazali, PhD, MPS ID.
Dengan dalih pemborosan anggaran, Effendi mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 3 ayat 5, Pasal 9, Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres).
Pemilu yang tidak serentak antara pilpres dan pileg yang diatur dalam Undang-undang (UU) itu melanggar hak konstitusional warga negara. Pemborosan itu mencapai Rp 120 triliun. Kalau dilaksanakaan serentak, akan terjadi penghematan Rp 120 triliun, tulis Effendi dalam gugatannya.
Gugatannya ke MK itu ternyata diterima dan dikabulkan tahun 2013. Tetapi, pelaksanaan Pemilu sderentak, tidak dilaksanakan pada Pemilu 2014, tetapi baru pada tahun 2019 ini.
Effendi Gazali mendapat banyak kritikan dari banyak pakar hukum. “Setelah merenung”, Effendi Gazali sadar. Ia terbangun dari “Republik Mimpi” yang dikuasainya. Ia mengigau, sadar dan kemudian mengakui menyesal.
Setahun kemudian, bersama 11 pakar dan tokoh masyarakat kampus pria yang dipanggil Uda Pendi ini mengajukan Judicial Review agar Pemilu Serentak 2019 dibatalkan. Namun ditolak MK.
Penyesalan Effendi bukan hanya untuk membatalkan pemilu serentak semata, melainkan karena keputusan MK itu memberlakukan ‘Presidential Threshold’ yang baru diterapkan pada Pemilu 2019, padahal dia minta sejak Pemilu 2014 lalu.
Inilah konco-konco Effendi Gazali yang bersama-sama melakukan gugatan. Beliau adalah: Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara, Hadar Nafis Gumay, Bambang Wodjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Angga Dwimas, Feri Amsari, Hasan, Dahnil Anzar Simanjuntak dan Titi Anggraini. Mereka kecewa dan tidak bisa berbuat apa-apa, dengan keputusan MK itu.
Begitu geramnya, Effendi Gazali waktu MK menolak gugatan 12 tokoh masyarakat terhadap Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Kamis, 25 Oktober 2018, itu. Effendi bak orang “tasapo” — kemasukan makhluk halus.
Tanpa tedeng aling-aling, ia memprotes putusan hakim. Effendi Gazali mengucapkan umpatan yang menyebut “hakim sontoloyo” dan melakukan kebohongan publik.
Walaupun Effendi Gazali, minta Pemilu dikembalikan terpisah antara Pileg dengan Pilpres, Pemerintah bersikukuh, tetap berpegang kepada putusan MK. Akhirnya, KPU (Komisi Pemilihan Umum) menyusun jadwal dan segala macam persiapan. Dan Pemilu serentakpun sudah berlangsung dengan berbagai akibat yang benar-benar tidak menguntungkan.
Dampak yang dirasakan, masyarakat terbelah, demokrasi di Indonesia ternoda. Ini gra-gara, semakin banyaknya pengaruh mediamassa dan media sosial yang menimbulkan opini. Di antaranya hoax, palsu dan kebohongan. Bahkan mengadudomba antar sesama warga negara.
Sampai-sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), akhirnya buka suara. Iapun menyadari, bahwa sistem pemilihan umum serentak antara pilpres dan pileg “tidak bagus”. Itu harus dipisahkan. Jadi, dasarnya hukum untuk memisahkan Pileg dengan Pilpres itu, harus dipersiapkan untuk Pemilu tahun 2024.
Memang, jika dilihat dan dirasakan dampak pemilu serentak ini adalah kurangnya atensi dari masyarakat terhadap pileg. Semua terfokus ke pilpres. Padahal, pemilihan legislator cukup penting untuk menentukan kualitas pilpres. Sebab, hasil pileglah yang menentukan kebijakan pemerintah selama lima tahun ke depan.
Nah, dengan kenyataan yang demikian kita layak merenung. Tidak memaksakan diri untuk “fanatik” dalam berpihak. Kita harus mampu menyadari untuk bersatu dalam perbedaan.
Bagaimanapun juga, kita semua berpandangan sama. Proses dan penyelenggaraan Pemilu serentak ini memang rumit dan sulit. Wajar kalau kita sadar untuk dilakukan evaluasi dan mencari solusi, memisahkan kembali Pileg dengan Pilpres. (**).