Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
BANJIR dan kemacetan lalulintas, masih saja menjadi “hantu” di Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia (RI). Gara-gara “banjir kiriman” dari Bogor kembali menenggelamkan sebagian Kota Jakarta, akhir April 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk memindahkan Ibukota negara ke luar pulau Jawa.
Kata-kata “memutuskan” yang disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibukota Negara RI, di kantor Presiden, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019) itu, layak dipertanyakan. Apalagi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro, mengakui, memang Jokowi berencana memindahkan Ibukota ke luar Jawa.
Pemberitaan tentang rapat terbatas itu, menimbulkan berbagai pertanyaan dan reaksi di masyarakat. Apakah ini betul-betul keputusan, atau “tetap wacana” seperti sebelumnya. Sebab, wacana tentang pemindahan ibukota negara RI dari Jakarta itu, sudah ada sejak zaman Presiden Sukarno. Kemudian, timbul tenggelam dan kembali menjadi wacana setiap terjadi banjir besar dan kemacetan lalulintas berkepanjangan di Jakarta.
Memang pada rapat itu Jokowi memutuskan, pindah. Ada tiga alternatif pemindahan Ibukota. Tetapi yang dipilih Jokowi, pindah ke luar Jawa. Keputusan Jokowi itu diambil dengan mempertimbangkan agar Indonesia tidak Jawa sentris.
Tidak jadi masalah, pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke luar Jawa. Tetapi, apakah demikian mudahnya “keputusan” memindahkan ibukota negara? Mungkin, pengertian keputusan itu, masih “keinginan” Jokowi. Kalau Keputusan Presiden (Keppres), tentu tidak segampang mengucapkan. Banyak yang harus dipertimbangkan sebagai persyaratan.
Kalau memang ada rencana pemindahan ibukota negara, Presiden menugaskan Bappenas dan lembaga-lembaga penelitian untuk melakukan survei atau sigi lapangan. Nah, kalau sudah diperoleh hasil dari penelitian di berbagai tempat dengan argumentasinya, barulah “keputusan Jokowi yang berupa wacana” itu dikaji ulang.
Proses dan kajiannya, harus ilmiah, diseminarkan dan dimintakan berbagai pendapat sebagai masukan. Dari sini, dilakukan kajian hukum, penganggarannya, serta dampak positif dan negatif, serta kelayakannya. Semua pihak yang terkait diikutsertakan. Bukan hanya pihak pemerintah, tetapi juga parlemen (DPR dan MPR). Jadi, proses pemindahan ibukota negara itu dasar hukumnya jelas. Dari kajian terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) sampai mewujudkan UU, maupun (mungkin) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
Memang, masalah pemindahan ibukota, di negara kita ini sudah biasa. Pemindahan ibukota provinsi dan kabupaten, selama ini didasari pada Keppres. Tetapi, apakah untuk pemindahan ibukota negara juga cukup dengan Keppres?
Kecuali dalam keadaan “darurat”, ibukota negara Republik Indonesia pernah pindah. Awal tahun 1946, situasi keamanan di Jakarta sebagai ibukota negara RI sangat terganggu. Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda membuat suasana di Jakarta tidak aman.
Dengan dalih melucuti tentara Jepang, situasi negara kita Indonesia yang sudah Merdeka 17 Agustus 1945, terancam. Beberapa pejabat negara yang didampingi para pejuang sering konflik dengan pihak Sekutu dan pasukan Belanda yang membonceng.
Akhirnya, secara rahasia tengah malam 3 Januari 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta para menteri berangkat dengan kereta api ke Jogjakarta. Sejak tanggal 4 Januari 1946, segala kegiatan Pemerintah Pusat dialihkan atau “pindah” ke Jogjakarta. Maka, disebutlah Ibukota negara RI, pindah ke Jogjakarta.
Situasi di Jogjakartapun kemudian tidak kondusif. Belanda melakukan Agresi Militer I. Jogjakarta diserang, Presiden dan Wakil Presiden, Sukarno-Hatta bersama beberapa menteri kabinet ditawan Balanda dan diasingkan ke luar Jawa. Pada Agresi Militer II ini, Jogja sebagai ibukota negara, direbut dan dikuasai Belanda.
Dalam keadaan Pemerintahan RI yang kosong itu, sertamerta, Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi, Sumatera, mendapat kuasa tertanggal 19 Desember 1948 untuk mendirikan Pemerintahan Darurat.
Sjafruddin Prawiranegara, tanggal 22 Desember 1948, mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Artinya, terhitung sejak tanggal 19 Desember 1948, ibukota Negara RI, pindah ke Kota Bukittinggi, yang saat itu menjadi Ibukota Provinsi Sumatera (waktu itu seluruh Pulau Sumatera menjadi satu provinsi) — Memang , Kota Bukittinggi ini, kemudian menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Tengah (meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi) dan setelah menjadi Provinsi Sumatera Barat, ibukota Provinsi dipindah dari Bukittinggi ke Kota Padang.
Cukup lama Bukittinggi menjadi ibukota PDRI, yaitu dari tanggal 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949. Ini terjadi setelah Perjanjian Roem-Royen antara Pemerintah RI dengan Belanda tanggal 13 Juli 1949 yang membebaskan Sukarno-Hatta dan beberapa menteri kabinet dari tawanan Belanda. Dan pada tanggal 14 Juli 1949, ibukota Negara RI, kembali ke Jakarta.
Kalau kita kembali melihat dasar hukum pemindahan ibukota negara, selain berdasarkan UUD (Undang-Undang Dasar) Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), tentu selayaknya dijabarkan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), serta Keppres.
Nah, dari Jakarta ke manakah Ibukota Negara RI akan dipindahkan? Ke luar Jawa, di mana? Benarkah ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Ah, mungkin ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau ke Bali, Nusatenggara, Maluku, serta Papua.
Ini kelihatannya belum keputusan. Tetapi, masih tetap wacana dan wacana, terkait dampak “banjir kiriman” dari Bogor yang menenggelamkan Jakarta, diembel-embeli kemacetan lalulintas.
Ternyata memang benar. Inilah pengakuan Jokowi. Untuk mewujudkan pemindahan ibukota negara RI ini memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Sebagai langkah awal, Jokowi menyatakan akan berkomunikasi dengan DPR guna membahas payung hukum wacana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke kota lain di luar Pulau Jawa.
Kendati sudah direncanakan pertemuan, namun Jokowi belum memastikan kapan komunikasi bakal dilangsungkan.
“Pokoknya nanti kajian hukum, sosial, politik, akan dibahas. Apabila sudah matang, nanti diputuskan,” ujar Jokowi.
Tidak hanya itu, selain berkomunikasi dengan DPR, Jokowi menyatakan kajian tentang perencanaan hingga payung hukum pemindahan ibu kota juga akan didiskusikan dengan para tokoh.
Pemerintah akan melakukan kajian untuk mendapat banyak sudut pandang penting dalam memindahkan ibukota.
Kecuali itu, ujar Jokowi, ia juga akan menemui tokoh formal, informal, tokoh politik, dan tokoh masyarakat. Mengapa? Sebab ini menyangkut visi ke depan kami dalam membangun sebuah ibu kota pemerintahan yang representatif.
Jokow jugai mengaku sudah mantap memutuskan pilihan untuk memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Kita tahu, kepadatan dan populasi penduduk di Pulau Jawa sudah luar biasa.
Saat ini, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 57 persen dari total populasi di Indonesia. Penduduk di Pulau Sumatera mencapai 21 persen, Pulau Kalimantan hanya sekitar 6 persen, Pulau Sulawesi 7 persen, dan Papua serta Maluku 3 persen.
Tidak dapat dibantah, ulas Jokowi, memang faktor banjir dan kemacetan menjadi alasan utama. Sebab, keduanya kerap memberikan kerugian kepada kota metropolitan Jakarta ini.
Di samping itu, kerugian akibat macet mencapai Rp 65 triliun per tahun. Padahal 50 persen wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir. Data lain adalah penurunan permukaan air laut sekitar 7,5 sentimeter per tahun. Ini mengakibatkan sekitar 96 persen air sungai di Jakarta tercemar berat, jelas Jokowi sembari membuka catatannya.
Benar, seperti yang disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Soemantri Brodjonegoro, rencana pemindahan ibu kota memang tak mudah. Diperlukan perubahan undang-undang.
Jakarta sebagai ibukota negara, diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang DKI Jakarta Raya, sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.
Untuk itulah, maka pemindahan ibukota harus ada ada upaya politiknya berupa perubahan UU, kata Jokowi di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Jadi benar, semua prosedur itu harus dijalani. Apa yang disebut Jokowi sebagai “putusan” dalam rapat terbatas itu, bukan berarti Keppres atau Keputusan Presiden. Mungkin, bisa dikatakan “penegasan” terhadap wacana yang menjadi harapan selama ini.
Untuk mewujudkan pemindahan ibukota negara RI itu, perlu direncanakan tahapannya. Rencana jangka menengah dan rencana jangka panjang. Jangka menengah bisa dalam satu periode masa pemerintahan. Sedangkan jangka panjang, perlu direncanakan untuk berkesinambungan dengan pemerintahan berikutnya.(**)