Pemindahan Ibukota Tidak Sekedar Pidato dan Minta Izin ke DPR Melainkan Harus Membuat UU

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com – Simposium Nasional yang diselenggarakan Orwil ICMI DKI Jakarta, digelar di Kampus Universitas Islam As – Syafi’iyah, Selasa (29/10/2019) di Jakarta. “Simposium ini akan memberikan pemikiran dari para pakar tentang pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara atau Kajupaten dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Apakah sudah sesuai dengan urgensinya,” tandas Dulaimi Firdaus yang dipercaya Ketua Umum MPP ICMI Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menjadi Orwil ICMI DKI Jakarta melaksanakan Simposium Nasional untuk menyongsong Silatnas ICMI pada Desember nanti di Padang.

Selain dihadiri Ketua Umum MPP ICMI, hadir nara sumber lain yang memiliki perspektif yang berbeda diantaranya adalah Prof. Denny Indrayana dalam perspektif hukum dan konstitusi, Ridwan Saidi dalam perspektif budaya, Prof. Dr. Dien Samsuddin dalam perspektif agama dan sosial, Rocky Gerung dalam perspektif akal sehat, dan nara sumber lain dalam pandangan legislatif dan pangan.

Lebih lanjut Simposium Nasional yang mengetengahkan tentang Pindah Ibukota, Siapakah Kita, Dalam Kajian Multi Perspektif. Jimly mengatakan tidak sebatas pidato lalu menyampaikan kepada DPR untuk memindahkan ibukota dengan sekedar minta izin, karena DPR lembaga legislatif bukan lembaga perizinan.

“Pemindahan ibukota negara tidak bisa dilakukan secara sederhana dengan minta izin ke DPR, melainkan harus dipindahkan secara negara berdasarkan undang – undang dan banyak undang – undang yang dirubah. Jadi harus membuat UU untuk memindahkan ibukota” ujar Jimly dihadapan peserta.

Oleh karena ditekankan Jimly, terhadap ICMI Orwil DKI Jakarta, memiliki tujuan membahas pemindahan ibukota karena sudah tahu manfaat dan mudharatnya. Apalagi di Indonesia kata Jimly, ada budaya feodal dan asal bapak senang (ABS). Maka dari itu, isyu pemindahan ibukota harus dibahas secara makro dan mikro.

Lebih jauh ditegaskan Rektor Universitas Islam As Syafi’iyah terhadap isyu pemerintah untuk memindahkan ibukoya negara harua mempersiapkan persyaratan – persyaratan hukum dan bukan sekedar political will presiden tetapi eksekutif, legislatif dan yudikatif harus bersepakat. Tujuannya adalah untuk menghindari adanya kebijakan tambal sulam ditarik kembali oleh rezim – rezim yang akan datang.

“Intinya adalah harus dilihat segala sudut pandang (policy vote), mulai dari segi politiknya dan melihat apakah daerah itu cocok untuk pengembangan,” jelas Rektor Universitas Islam As -syafi’iyah Prof. Dr. Masduki Ahmad.

Ia pun tidak menampik ungkapan liar yang beredar di masyarakat bahwa rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota negara hanya untuk melihat ombak bergelombang dan sejatinya belum tentu dalam lima tahun ibukota negara bisa dipindahkan.

“Tetapi tentu statement seorang Presiden memiliki dimensi hukum, kalau bahasa birokrasi adalah perintah. Untuk jangan sampai terlanjur menjadi bola liar. Saya kira tentu sebagai negara hukum, semua kebijakan apapun harus didukung dengan pranata hukum,” ungkapnya.

Namun Masduki yang notaben mantan birokrasi menegaskan bahwa pos anggaran untuk memindahkan ibukota negara, banyak masalah di negeri Indonesia, publik tidak diajak turut serta yang sesungguhnya memiliki dimensi hukum yang berbahaya. “Ini sangat berbahaya kalau tidak didukung dan kalau prakteknya itu menyalahi peraturan perundang – undangan.

Oleh karena itu menurutnya, sekecil apapun kebijakan Presiden harus diamankan dengan peraturan perundang – undangan,” tandasnya. ddm

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *