Sebagai salah satu syarat daerah untuk menerima Adipura, Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mempresentasikan visi, misi dan program kerja Pemerintah Kota Banda Aceh terkait kebersihan dan pengelolaan lingkungan perkotaan di hadapan Dewan Pertimbangan Adipura (DPA), ”juni 2016.
Pada acara yang digelar di Ruang Rapat Merapi, The Sultan Hotel, Jakarta Pusat, tersebut, Banda Aceh tergabung dalam Kelompok I bersama Kota Jambi, Palembang, Jakarta Pusat, Ambon, Payakumbuh, Kabupaten Sukoharjo dan Kudus.
Usai presentasi, Illiza yang didampingi oleh Kadis Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh Jalaluddin kemudian mengikuti sesi wawancara dengan Ketua dan Anggota DPA serta para Tenaga Ahli Persampahan dan Pemasaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penentuan pemenang penghargan Adipura 2016 diyakini akan lebih ketat karena tim penilai menambah dua kategori penilaian yakni tutupan vegetasi dan persoalan pertambangan. Kategori penilaian lainnya yakni pengeloaan TPA, sistem daur ulang sampah, penghijauan, kebersihan drainase, hutan kota dan kebersihan di area umum dan perkantoran.
Di samping itu, ada juga penilaian non fisik seperti sisi manajemen pemerintahan dalam pengelolaan kualitas air, pesisir, pariwisata, dan lainnya. Ditambah lagi adanya ketentuan polling atau survei langsung ke masyarakat.
Dalam presentasinya berjudul “Banda Aceh Go Green And Clean” , Illiza mengungkapkan komitmen Pemko Banda Aceh untuk secara terus-menerus berupaya meningkatkan kualitas lingkungan menuju kota berkelanjutan (sustainable city).
“Dalam rangka menuju kota yang berkelanjutan, maka pembangunan Kota Banda Aceh tidak hanya hanya berfokus pada aspek ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Ketiga aspek ini mendapat perhatian yang sama dari Pemerintah Kota Banda Aceh.”
Menurutnya, penerapan konsep pembangunan berkelanjutan pada aspek lingkungan dilakukan melalui perencanaan yang berwawasan lingkungan, pelestarian sumber daya alam, engelolaan sarana dan prasarana perkotaan yang berpedoman pada konsep berwawasan lingkungan, dan pemanfaatan renewable energy.
Sebagai upaya mewujudkan pengelolaan sampah secara mandiri di desa-desa yang ada di Kota Banda Aceh, kata Illiza, telah dibentuk pilot project desa mandiri dalam pengelolaan sampah di dua desa yakni Gampong Lambung dan Alue Deah Tengoh. “Kegiatan ini didukung oleh Project Comu yang merupakan kerja sama Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima-Jepang.”
Ia menjelaskan, beberapa pola yang dikembangkan di desa mandiri ini antara lain menerapkan sistem collecting point sebagai tempat pemilahan sampah yang dilakukan langsung oleh masyarakat. “Sampah organik dikumpulkan dan diolah di TPS 3R untuk selanjutnya dimanfaatkan menjadi pupuk untuk taman desa,” urainya.
“Sementara sampah anorganik dijual setelah sebelumnya diolah menjadi produk kerajinan. Pengelolaan dan sosialisai program ini dilakukan oleh KSM secara swadaya dan swadana. Kini, di dua desa tersebut tidak ada lagi pelayanan pengangkutan sampah dari Dinas Kebersihan,” urainya lagi.
Disamping keterlibatan masyarakat dalam mendukung terwujudnya kota bersih dan hijau, Illiza menyebut keberadaan komunitas peduli lingkungan sangat berperan dalam memberikan edukasi lingkungan bagi mayarakat. “Setidaknya ada 74 komunitas peduli lingkungan yang ada di Banda Aceh saat ini dan kehadiran mereka semakin memberi dampak bagi kemajuan kota.”
Selain itu, sejak 2009 Banda Aceh sudah memiliki Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang di dalamnya telah ditetapkan rencana pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Konsep pengembangan RTH antara lain difokuskan pada pengembangan RTH di desa-desa dan diharapkan setiap desa harus memiliki RTH yang dikelola oleh desa,” katanya.
Katanya lagi, untuk RTH private juga sudah diatur bahwa setiap persil bangunan harus memiliki RTH 30-40 persen. “Angka ini bahkan diatas target Undang-Undang Penataan Ruang yang hanya menargetkan 10 persen.”
“Luas RTH publik di Banda Aceh kini sudah mencapai 13,2 persen dan setiap tahun terus bertambah karena pemerintah selalu mengalokasikan anggaran untuk pembebasan lahan milik masyarakat untuk dikonversi menjadi taman-taman dan ruang publik hijau. Secara keseluruhan, luas RTH publik dan private di Banda Aceh sudah mencapai 23,2 persen,” ungkap Illiza,’’(**)