Risma -sapaan Tri Rismaharini- mengatakan, standar TPA yang baik memang harus mempunyai barrier berupa green belt. Tujuannya, untuk mereduksi efek negatif TPA yang berdampak pada permukiman di sekitarnya. Oleh karenanya, green belt nantinya akan ditanami tanaman yang dapat menyerap bau sampah.
Progres pembuatan green belt saat ini memasuki tahap pembebasan lahan. Seluruh lahan yang dibebaskan merupakan milik swasta/perorangan. Diperkirakan lahan yang diperlukan untuk green belt ini mencapai 100 hektare.
Saat sidak, Risma juga mengunjungi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di TPA Benowo. Sebagaimana diketahui, sampah di TPA Benowo diolah menjadi gas metana yang menghasilkan listrik. Dia melanjutkan, listrik inilah yang kemudian dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN), sedangkan sebagian dimanfaatkan untuk operasional di TPA Benowo.
Per hari, TPA Benowo mampu menghasilkan 1,8 hingga 2 megawatt. Ke depan, Pemkot akan meningkatkan produksi listrik dari sampah dengan cara membangun powerplan baru. Targetnya, produksi listrik mampu mencapai 10 megawatt per hari.
Namun demikian, Risma mengatakan bahwa membangun powerplan tidak semudah membangun apartemen. Dibutuhkan perencanaan, persiapan lahan, serta sarana penunjuang yang matang. Terkait lahan, Risma menyatakan, Pemkot memiliki lahan seluas 3 hektare tetapi akses ke lokasi tersebut masih belum siap.
“Ini proses masih terus kita matangkan. Sebelum membangun powerplan, kita matangkan dulu berbagai sarana penunjangnya. Nantinya, produksi listrik yang besar dapat mendukung pertumbuhan kota,” pungkas wali kota perempuan pertama di Surabaya ini