Surabaya, beritalima.com | Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan sejumlah organisasi profesi siap mengawal kasus kekerasan yang menimpa seorang dokter di RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya, Jumat (25/4/2025). Dalam insiden tersebut, dr Faradina Sulistiyani, mengalami penganiayaan oleh pasien hingga mengakibatkan luka berat.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSUD BDH Kota Surabaya, Arif Setiawan, menegaskan bahwa Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memberikan atensi khusus pada kasus kekerasan ini. “Wali Kota menyampaikan bahwa dokter dalam menjalankan tugasnya wajib dilindungi. Pemkot Surabaya akan mendampingi sepenuhnya perkara ini,” ujar Arief dalam konferensi pers bersama di Surabaya, Senin (25/8/2025).
Untuk itu, pihaknya meminta kepada aparat penegak hukum (APH) agar memberikan hukuman setimpal bagi pelaku. “Kami mohon Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum menangani perkara ini dengan serius dan memberikan sanksi sesuai ketentuan berlaku demi keadilan untuk dr Faradina,” tegasnya.
Anggota Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar (PB) IDI, Agus Ariyanto, menilai bahwa kekerasan dengan segala bentuk, bukanlah solusi dalam menyelesaikan masalah. Baginya, kekerasan adalah kategori perbuatan melawan hukum. “Oleh karena itu PB IDI mendorong kasus ini diselesaikan secara hukum untuk memenuhi rasa keadilan,” jelas Agus.
Agus juga menyatakan bahwa PB IDI akan mengawal kasus dr Faradina sampai korban mendapatkan keadilan yang seadil adilnya demi untuk pembelajaran semua. “Semoga kasus-kasus persekusi atau kekerasan fisik terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan tidak terulang lagi,” tambahnya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Ahli Hukum Kesehatan dan Kedokteran Indonesia (PERDAHUKKI) Pusat, Rudy Sapoelete menegaskan jika kekerasan yang menimpa dr Faradina bukan hanya melukai korban, tapi juga martabat profesi kedokteran.
“Pelaku penganiayaan harus diproses sesuai UU yang berlaku, agar ada efek jera dan tidak ada lagi kekerasan terhadap tenaga medis. Kami berharap masyarakat memahami bahwa dokter bekerja berdasarkan standar profesi, etika, dan disiplin ilmu,” ujar Rudy.
Rudy pun memastikan bahwa PERDAHUKKI bersama PB IDI dan IDI Jawa Timur akan terus mengawal kasus ini. Pihaknya juga mendorong APH agar menindak tegas pelaku sesuai ketentuan UU yang berlaku.
“Perlu kita pahami, dalam KUHP mengatur tentang penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu (voorbedachte raad), secara tegas Pasal 353 ayat (2) menyebutkan bahwa jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka pelaku diancam pidana paling lama 7 tahun,” tegas dia.
Pernyataan sikap yang sama juga ditegaskan oleh oleh Anggota Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI Wilayah Jawa Timur, Dedi Ismiranto.
“Kami mendorong penegakan hukum secara tegas dan tuntas terhadap pelaku kekerasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, guna memberikan rasa keadilan bagi korban serta efek jera bagi pelaku dan pihak-pihak lainnya,” kata Dedi.
Dalam kesempatan itu, Dedi juga mengimbau masyarakat, apabila mengalami keluhan dalam pelayanan, agar disampaikan melalui mekanisme resmi yang ada di rumah sakit. Artinya, keluhan itu bukan disampaikan dengan cara kekerasan atau penganiayaan.
“IDI Wilayah Jawa Timur bersama tim hukumnya akan menindaklanjuti secara konsisten serta senantiasa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait apabila masih terjadi tindakan premanisme atau kekerasan terhadap tenaga medis,” imbuhnya.
Sementara itu, Anggota Bidang Advokasi dan Hukum Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (PABI) Surabaya Raya, Julie Kun Widjajanto menegaskan, pihaknya akan terus mengawal permasalahan hukum dr Faradina, baik dari segi administratif, perdata, maupun pidana di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya untuk mendapatkan keadilan.
“Sikap dari PABI Surabaya Raya dibuat demi memberikan perlindungan hukum pada anggota PABI Surabaya Raya dalam melaksanakan layanan kesehatan pada penderita secara optimal sesuai kompetensi,” tandasnya. (*)






