SURABAYA, beritalima.com | Dalam rangka percepatan pengentasan kemiskinan di Kota Surabaya, Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya menetapkan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 58 Tahun 2019, Tentang Tata Cara Pengumpulan, Pengolahan, Pemanfaatan, dan Pelaporan Data Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Data MBR tersebut, digunakan sebagai acuan intervensi berbagai bidang bantuan untuk warga Surabaya. Baik itu di bidang kesehatan, pendidikan, sosial, kependudukan, maupun pemberdayaan dan ketenagakerjaan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan, data MBR tersebut digunakan sebagai acuan Pemkot Surabaya untuk intervensi berbagai bidang bantuan, dalam upaya percepatan pengentasan kemiskinan.
“Kita evaluasi dari program MBR tahun kemarin, maka kemudian kita buat baru, sehingga ada (bantuan) yang langsung bisa dirasakan masyarakat secara cepat, karena saat ini menggunakan satu data (MBR),” kata Eri saat menggelar jumpa pers di Kantor Humas Pemkot Surabaya, Rabu (25/1/2020).
Berdasarkan Perwali Nomor 58 Tahun 2019, data MBR tersebut dibedakan menjadi dua. Yakni, 665.882 jiwa yang terdiri dari 202.572 KK (kartu keluarga). Menurut Eri, dahulu MBR selalu dilihat dari jumlah jiwa. Namun, tidak bisa seperti itu, sebab jika dilihat dari jiwa, ketika bayi lahir atau anak masih sekolah SD-SMP, itu juga termasuk dalam kategori MBR. “Karena itu bagaimana tugas kami adalah menyelesaikan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ini per KK nya,” katanya.
Ia pun mencontohkan, ketika dalam satu KK ada ayah, ibu dan putranya yang sudah menikah dan punya anak, maka pemkot tidak mudah untuk mengentas kemiskinan keluarga tersebut. Sebab, treatment yang diberikan pemkot kepada keluarga itu akan berbeda-beda dan disesuaikan dengan kebutuhannya. Makanya anaknya harus lepas dengan ayahnya dan satu KK dengan istrinya. “Sehingga kita bisa konsentrasi masuk (memberikan bantuan) ke mananya,” katanya.
Maka dari itu, semua intervensi yang dilakukan oleh pemerintah kota itu kemudian mengacu pada daftar MBR berdasarkan Perwali No 58 tahun 2019. Salah satunya yakni intervensi bantuan di bidang kesehatan melalui BPJS Bantuan Penerima Puran (PBI).
Namun begitu, Eri menyebut, penerima PBI belum tentu masuk dalam kategori MBR. Sebab, ada tiga kategori penerima BPJS PBI. Pertama adalah MBR, kedua masyarakat dalam kategori khusus seperti pekerja sosial, kader, guru ngaji, dan sebagainya. Sedangkan ketiga, adalah masyarakat yang termasuk katastropik atau sakit dalam kondisi tertentu. Artinya, penerima PBI belum tentu masuk dalam daftar MBR. “Jika dijumlah besar PBI nya, tapi PBI tidak berbanding lurus dengan jumlah masyarakat berpenghasilan rendah,” ungkapnya.
Kendati demikian, Eri menyebut, ketika ada warga Surabaya datang ke rumah sakit tidak punya jaminan kesehatan, dan tidak masuk ke daftar MBR, tapi dahulu masuk, maka ia bisa langsung melakukan pendaftaran ke Pemkot Surabaya. Caranya, ketika dia mendaftar di rumah sakit, petugas akan melakukan entry data berdasarkan NIK (Nomer Induk Kependudukan) yang terkoneksi dengan aplikasi lurah. Kemudian Dinas Sosial akan melakukan pengecekan dan verifikasi apakah warga tersebut masuk dalam MBR atau tidak.
“Tapi saya harap jangan menunggu sakit. Kalau belum masuk data MBR, silahkan langsung daftar bisa melalui RW. Nantinya RW akan memasukkan data lewat aplikasi dan masuk ke lurah, kemudian diverifikasi oleh Dinsos,” jelasnya.
Data MBR tersebut, nantinya juga bisa diakses secara publik melalui laman http://epemutakhirandata.surabaya.go.id. Sehingga semua masyarakat bisa melihat nama dia masuk atau tidak dalam daftar MBR ini. “Sehingga data MBR ini sifatnya dinamis. Nanti di data akan terlihat perkembangan, setelah dia mendapat intervensi dari pemkot itu terlihat berpenghasilan berapa,” kata Eri.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita menyampaikan, ketika ada pasien yang sakit dan tidak punya jaminan pembiayaan, maka ia bisa langsung mendaftar melalui petugas loket untuk mendapatkan layanan melalui Surat Keterangan Miskin (SKM). Petugas loket akan memasukkan NIK pasien itu, apakah masuk dalam daftar MBR atau tidak. “Nah dalam waktu 48 jam, 5 jam proses di kelurahan dan 43 jam di Dinas Sosial (verifikasi), sehingga pasien tidak perlu wira-wiri,” kata Febria.
Menurut Febria, jika dahulu pihak keluarga harus mengurus ke kelurahan untuk mendapatkan SKM sebagai pembiayaan di rumah sakit, namun sekarang tidak. “Jadi cukup keluarga dan pasien duduk di rumah sakit. Nah ini sudah berlaku mulai besok jalan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinsos Kota Surabaya, Suharto Wardoyo menambahkan, saat ini SKM berbasis online. Sehingga warga Surabaya tidak perlu membawa SKM dari kelurahan untuk mendapatkan layanan di rumah sakit. Mereka cukup menyerahkan NIK kepada petugas rumah sakit. “SKM online ini akan berlaku selama dua bulan per orang,” kata Anang sapaan lekatnya.
Ia menambahkan, namun jika SKM sudah tidak aktif, warga bisa mengaktifkannya kembali secara online. Sehingga diharapkan, masyarakat lebih mudah dan cepat mendapatkan layanan di rumah sakit. “Intinya lurah tidak mengeluarkan SKM lagi secara manual, tapi sudah secara online, semua online termasuk dari kelurahan, dinas sosial masuk ke data Dinas Kesehatan (saling terkoneksi),” pungkasnya. (*)