JAKARTA, beritalima.com – Bertambahnya populasi di suatu negara menuntut lahirnya pula infrastruktur baru demi pelayanan publik yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Terdapat tiga skema dalam pengadaan infrastruktur di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Pengadaan konvensional; Penugasan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan Skema Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha (KPDBU) atau Public- Private Partnership.
KPDBU adalah penyediaan infrastruktur yang dilakukan pemerintah daerah melalui kerjasama dengan badan usaha dalam bentuk perjanjian atau kontrak kerjasama yang memiliki jangka waktu relatif panjang, dimana terdapat pembagian alokasi resiko antara pemerintah daerah dan badan usaha. Skema ini sudah diterapkan di berbagai negara dan terbukti menjadikan proyek pengadaan yang lebih efektif.
“KPDBU menekankan pada harmonisasi tanggung jawab dan kerjasama antara pemerintah daerah dan pihak swasta dalam pengadaan infrastruktur. Hal ini menjadikan KPDBU, skema yang paling bisa mengimbangkan keterlibatan pemerintah daerah dan swasta di suatu proyek dan KPDBU bukan privatisasi.” Ujar Wakil Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta, Denny Wahyu Haryanto, dalam kegiatan Jakarta Investment Centre (JIC) Talks dengan tema “Membangun Infrastruktur di DKI dengan Skema Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha (KPDBU)” yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di JW Marriot, Jakarta (16/04/19).
Lebih lanjut Denny menambahkan Keunggulan KPDBU juga tercermin dari manfaat yang bisa didapatkan, antara lain peningkatan kualitas layanan, kepastian perawatan secara reguler, perencanaan, koordinasi dan seleksi proyek yang berkualitas, transparansi dalam pengadaan proyek, inovasi dalam pengadaan infrastruktur, dan pengelolaan dana infrastruktur yang lebih efisien. KPDBU dapat mempercepat pembangunan infrastruktur di Jakarta.
“tentu KPDBU dapat mempercepat pembangunan infrastruktur karena APBD jumlahnya sangat terbatas untuk mendanai seluruh kebutuhan investasi” ujar Denny.
Denny menambahkan pemerintah daerah menawarkan skema KPDBU dalam rangka menarik dana yang berasal dari pihak swasta untuk turut membangun infrastruktur maupun proyek-proyek dan pihak swasta diberikan kepastian berupa pengembalian tingkat keuntungan yang diharapkan (rate of return) dan menjaga resiko secara reasonable atau cukup dapat diterima oleh pihak swasta
“inilah yang merupakan daya tarik KPDBU” ujar Denny.
Kendati demikian Denny mengatakan para calon investor masih minim pemahaman mengenai skema kerjasama tersebut. Padahal dengan adanya KPDBU, proyek-proyek yang tidak bisa berjalan karena kendala anggaran pemerintah daerah menjadi dapat berjalan melalui partisipasi pihak swasta. KPDBU dapat mempercepat realisasi berbagai macam proyek infrastruktur.
“Skema KPDBU memang sampai saat ini dirasakan masih sangat awam, sehingga perlu adanya sosialisasi sekaligus menyamakan persepsi dengan stakeholder dan komitmen dalam menjalankannya. JIC Talks ini sekaligus dapat membuka wawasan dan meningkatkan minat para pengusaha dan peserta lainnya dalam pelaksanaan investasi di Jakarta, selain itu juga untuk menjalin relasi,” ucap Denny.
Rp. 571 Triliun untuk Infrastruktur Jakarta
Solusi terhadap warga Jakarta untuk mendapatkan pelayanan publik yang murah adalah skema KPDBU dalam membiayai fasilitas umum atau infrastruktur, beban yang ditanggung oleh warga Ibukota dikurangi oleh Dukungan Tunai Infrastruktur atau Vialibity Gap Fund (VGF) oleh pemerintah daerah dan kemudian swasta bisa mengurangi beban pembiayaan pemerintah daerah sehingga bisa berjalan dengan baik.
DPMPTSP Provinsi DKI Jakarta melalui Pusat Informasi, Promosi dan Kerjasama Investasi (PIPKI) hadir untuk mendukung dan mempercepat pembangunan infrastruktur dengan menjembatani keunggulan pihak swasta dan pemerintah daerah demi warga Ibukota untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik melalui skema KPDBU.
“saat ini PIPKI menawarkan setidaknya terdapat sembilan potensi proyek KPDBU yang dapat dijalankan di DKI Jakarta dengan target dan total estimasi kebutuhan pembiayaan infrastruktur publik Jakarta 2030, sebesar Rp.571 triliun” ujar Denny.
Adapun kesembilan proyek tersebut, diantaranya: Pengembangan jaringan rel MRT mencapai 223 km dengan biaya sebesar Rp.214 triliun; Pengembangan jaringan rel LRT menjadi 116 km sebesar Rp.60 triliun; pengembangan panjang rute Transjakarta sepanjang 2.149 km, dengan biaya Rp.10 triliun ; jaringan Rel Elevated Loop Line sepanjang 27 km sebesar Rp.27 triliun ; penyediaan pemukiman hingga 600 ribu unit (fasilitas pembiayaan 30%) sebesar Rp.90 triliun ; peningkatan cakupan air bersih hingga 100% penduduk DKI Jakarta sebesar Rp.27 triliun, ; peningkatan cakupan air limbah yang mencakup 81% penduduk DKI Jakarta sebesar Rp.69 triliun; revitalisasi angkutan umum (first and last mile transport) hingga 20 ribu unit sebesar Rp.4 triliun; serta pengendalian banjir dan penambahan pasokan air sebesar Rp.70 triliun. Total nilai estimasi kebutuhan pembiayaan kesembilan infrastruktur ini mencapai Rp.571 triliun.
“Dengan begitu besarnya proyek infrastruktur tersebut maka kami menghadirkan Jakarta Investment Centre (JIC) untuk mendukung dan mendorong kegiatan investasi di Jakarta. JIC siap membantu para investor dalam proses pengajuan perizinan investasi hingga realisasi investasi di Jakarta atau end to end process. Selain perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta, struktur keanggotan JIC juga melibatkan Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta,” kata Denny menjelaskan.
Skema KPDBU
Turut hadir sebagai pembicara, Direktur Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sri Bagus Guritno, menyampaikan skema umum KPDBU sebagai integrasi sumber pendanaan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran.
“Bappenas ditunjuk sebagai koordinator pengintegrasian sumber- sumber pendanaan proyek prioritas yakni, proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau badan usaha yang memiliki sifat strategis dan jangka waktu tertentu untuk mendukung pencapaian prioritas pembangunan,” ujar Sri Bagus.
Melalui Kegiatan JIC Talks ini, Sri Bagus ingin menekankan mengenai perubahan paradigma yakni skema KPDBU bukan bersifat privatisasi tetapi pengelolaan aset melalui konsensi. Dapat berupa kegiatan yang memiliki arus pendapatan atau tidak memiliki pendapatan. Dirinya mengambil contoh proyek pembangunan fasilitas infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol, pembangunan rumah sakit, dan lain sebagainya pemerintah daerah dapat menjalin kerjasama dengan badan usaha melalui perjanjian perdata. Bagi pihak badan usaha dapat mengambil kompensasi menggunakan dua cara yakni menarik tarif kepada pengguna fasilitas umum seperti fasilitas tol, atau menarik tarif kepada pemerintah daerah.
“Manfaat menjalin KPDBU adalah karena memiliki prinsip on schedule, on budget dan on service, sehingga ada kesinambungan perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan dan mampu mengatasi keterbatasan kapasitas pelaksanaan,” ujar Sri Bagus.
Sementara itu Asisten Deputi Perumahan, Pertanahan dan Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bastary Pandji Indra, menjelaskan mengenai prinsip- prinsip KPDBU yakni, pembagian resiko antara pemerintah daerah dan badan usaha, kerjasama jangka panjang antar kedua pihak, serta menyediakan pelayanan atau fasilitas publik yang kewenangan pengaturan dan pengawasannya tetap dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
“yang harus dilakukan agar KPDBU ini berhasil adalah komitmen dari pemerintah daerah, Tim dan Satgas KPDBU yang fokus, berdedikasi dan berpengalaman, peraturan dan kelembagaan yang jelas, pengadaan yang transparan dan kompetitif serta pembagian resiko yang realistis,” pungkas Pandji.