SURABAYA, Beritalima.com-
Cuaca ekstrem yang melanda belakangan ini menyebabkan berbagai bencana di sejumlah wilayah Indonesia. Salah satunya yang baru saja menerjang Sukabumi, Jawa Barat berupa bencana alam tanah bergerak, banjir bandang, hingga tanah longsor, 4 Desember lalu, dan mengakibatkan 215 kepala keluarga atau 712 jiwa harus mengungsi ke lokasi lebih aman.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Ir Amien Widodo MSi menjelaskan bahwa fenomena tanah bergerak di Sukabumi ini disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satunya adalah perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan. Perubahan tersebut tidak terjadi secara mendadak, melainkan melalui proses panjang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Salah satu bentuk perubahan yang paling mencolok terjadi adalah pada lahan di sisi kiri dan kanan jalan yang memotong lereng gunung.
Awalnya, pemotongan lereng dilakukan untuk pembangunan jalan, yang secara langsung mengganggu stabilitas lereng akibat peningkatan sudut kemiringan.
Selanjutnya, permukiman mulai bermunculan di sekitar jalan, baik di sisi kiri, kanan, atas, maupun bawah jalan. Penduduk sering kali membersihkan lahan dengan menebang pohon, sehingga daya kohesi tanah menurun.
Kondisi ini diperburuk oleh pemotongan lereng untuk pembangunan rumah, yang semakin meningkatkan sudut kemiringan lereng dan membuat stabilitasnya menjadi semakin kritis.
Amien juga menjelaskan bahwa semakin banyak dan beratnya bangunan di sekitar lereng berkontribusi pada bertambahnya massa tanah yang memperburuk kondisi. Akan muncul retakan yang semakin lebar, banyak, dan tanah yang semakin turun.
“Inilah yang biasa orang awam sebut sebagai tanah ambles,” tambahnya.
Pakar geologi ITS ini juga menyoroti fenomena cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang akhirnya memperparah kondisi. Pemanasan global meningkatkan intensitas hujan, angin, hingga gelombang laut.
Dampak ini terlihat pada fenomena La Niña yang menyebabkan curah hujan meningkat hingga 20 persen lebih tinggi dari biasanya.
“Curah hujan yang tinggi seperti ini menjadi pemicu utama terjadinya tanah bergerak,” papar Amien.
Lebih lanjut, terang Amien, perubahan paling signifikan terlihat dari topografi Sukabumi yang kini mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Kawasan yang sebelumnya menjadi area resapan air kini berubah fungsi.
Akibatnya, air hujan tidak dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan mengalir sebagai air permukaan yang memicu erosi, banjir, dan tanah longsor.
“Proses ini mempercepat ketidakstabilan tanah, terutama di wilayah dengan banyak pemotongan bukit,” jelas dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, Amien menyarankan pengembalian fungsi hutan di puncak bukit. Menurutnya, kawasan tersebut seharusnya dikonservasi dan tidak digunakan untuk aktivitas manusia. Langkah ini akan membantu menjaga keseimbangan ekologis dan mengurangi risiko bencana di masa depan.
“Kita perlu menghitung kembali kapasitas resapan dan aliran air di kawasan tersebut,” ujarnya mengingatkan.
Terkait mitigasi bencana, Amien menilai bahwa upaya pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, terutama dalam penyusunan peta kawasan rawan bencana.
Namun, ia menekankan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mengedukasi masyarakat dan memberikan solusi konkret di daerah rawan, seperti segera mengungsikan warga di sekitar daerah retakan tanah hingga langkah perbaikan dilakukan.
Tak hanya itu, pakar mitigasi kebencanaan ini juga menyoroti perlunya regulasi tata ruang yang lebih tegas. Amien menyarankan adanya kolaborasi lintas kementerian untuk menyusun kebijakan yang dapat mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
“Ini saatnya berbagai pihak duduk bersama untuk mengatasi masalah ini secara terintegrasi,” tegasnya.
Amien juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda awal pergerakan tanah. Retakan tanah, rumah yang mulai miring atau retak, serta tiang listrik yang bergeser adalah beberapa indikator yang perlu diperhatikan.
“Jika tanda-tanda ini terlihat, warga diharapkan segera mengungsi ke lokasi aman,” tuturnya.
Amin juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda awal pergerakan tanah. Retakan tanah, rumah yang mulai miring atau retak, serta tiang listrik yang bergeser adalah beberapa indikator yang perlu diperhatikan.
“Jika melihat tanda-tanda tersebut, segera laporkan kepada pihak yang berwenang seperti BPBD setempat agar segera dilakukan kajian dan mengungsi jika diperlukan,” tandas Amien menyarankan.
Meski Sukabumi menjadi sorotan utama wilayah yang terdampak, Amien mengingatkan bahwa bencana serupa juga dapat terjadi di wilayah lain di Indonesia.
Dengan kondisi iklim tropis, sebagian besar wilayah di Indonesia rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang.
“Melalui regulasi yang tepat dan edukasi masyarakat yang baik, dampak bencana seperti ini dapat diminimalkan,” pungkasnya.(Yul(