JAKARTA, Beritalima.com– Wacana untuk memasangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dengan Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal Purnawirawan Moeldoko pada ajang Pemilihan Presiden (Pilpres 2024) tampaknya tidak pas.
Pasangan ini sangat timpang. Soalnya, Ganjar memiliki elektabilitas cukup tinggi, sementara Moeldoko sanget rendah. Bahkan bisa disebut elektabilitas Ganjar dan Moeldoko bagaikan langit dengan bumi.
Apalagi, kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta Selasa (24/8) malam, dari beberapa lembaga survei yang kredibel, elektabilitas Moeldoko malah tidak muncul.
Jadi, kalau mereka dipasangkan, Moeldoko tidak membantu Ganjar untuk menambah suara. Bahkan tidak menutup kemungkinan orang semula mendukung Ganjar, malah beralih ke pasangan lain. Karena itu, Moeldoko akan sia-sia bila dipaksanakan mendampingi Ganjar.
Selain itu, lanjut pria yang akrab disapa Jamil tersebut, pasangan ini akan sulit mendapat dukungan dari sembilan partai politik yang ada di DPR RI saat ini.
Soalnya, sesuai UU untuk Pilpres mendatang, calon Presiden-Wakil Presiden diusung partai politik atau gabungan partai politik minimal meraih 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara secara nasional.
Dikatakan Jamil, Ganjar saja yang elektabilitas cukup tinggi belum tentu mendapat dukungan dari partai dimana dia bernaung selama ini. Sebab, sosok Puan Maharani akan menjadi ganjalan terbesar buat Ganjar untuk mendapt dukungan dari PDIP menuju RI Satu atau Dua.
Moeldoko tentu akan lebih kecil peluangnya untuk mendapat dukungan dari partai lain. Hanya partai yang bodoh yang mau mengusung sosok yang elektabilitas sangat rendah.
“Saya nilai, wacana duet Ganjar-Moeldoko hanya sebagai pemanis demokrasi saja. Peluangnya sangat kecil untuk dapat berbicara pada Pilpres 2024. Apalagi, selama ini dia tidak dikenal rakyat dari Sabang sampai Merauke. Sebagian masyarakat meengetahui Moeldoko mantan Panglima TNI dan menjadi Kepala Staf Presiden (KSP),” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)