JAKARTA, Beritalima.com– Demokrasi idealnya memberi alternatif calon pemimpinan yang akan dipilih rakyat untuk memimpin mereka. Dengan diberinya rakyat banyak pilihan, berarti terbuka peluang rakyat untuk mendapatkan pemimpin berkualitas.
Hal itu diungkapkan pengamat komunikasi politik Muhammad Jamiludin Ritonga saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta akhir pekan ini, terkait dengan banyaknya calon tunggal pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak 9 Desember mendatang.
Seperti diberitakan, sedikitnya 31 dari ratusan daerah ikut melakukan Pemilukada serentak yang awalnya dijadwalkan September 2020. Namun, karena wabah pandemi virus Corona (Covid-19) melanda Indonesia, pelaksanaan Pemilukada itu diundur. Dan, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana memutuskan pesta demokrasi daerah itu pelaksanaannya diundur ke 9 Desember 2020.
Dikatakan pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Riset Kehumasan, Krisis dan Satrategi Public Retalions tersebut, calon tunggal memang tidak baik untuk demokrasi atau membuat demokrasi tidak sehat karena rakyat tidak punya alternati pilihan.
Calon tunggal, papar pengajar Universitas Esa Unggul Jakarta tersebut, umumnya mengemuka di negara otoriter atau negara yang demokrasinya belum mapan seperti Indonesia. Rakyat tidak diberi alternatif untuk memilih pemimpinnya.
Penyebabnya, lanjut laki-laki yang akrab disapa Jamil tersebut, banyak. Salah satunya, banyaknya partai politik (parpol) dan parpol itu tidak mampu mencetak calon pemimpin karena kaderisasi tidak berjalan dengan baik.
Contohnya di Indonesia. Saat ini ada puluhan partai politik. Di parlemen pusat saja setidaknya diisi sembilan Partai Politik yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PKS, PAN dan PPP. Di negara maju atau sistem demokrasinya sudah mapan di parlemen itu hanya ada dua atau tiga partai politik saja.
Amerika Serikat yang disebut-sebut Mbah Demokrasi hanya ada dua partai politik yakni Partai Demokrat dan Partai Republik. Demikian pula halnya dengan Inggris dan Australia.
Penyebab lain terjadinya calon tunggal, jelas bapak dari dua putra ini, karena dinasti politik makin menguat belakangan di Indonesia. Mereka mampu ‘melobi’ partai politik agar mengusung satu calon saja karena parpol yang dilobi itu tidak mempunyai calon yang bakal diusung akibat tidak berjalannya kaderisasi.
Bisa saja karena pragmatis partai politik. Ujung-ujungnya ini karena uang. Akibatnya, meski partai politik punya kader yang mumpuni, namun akhirnya tidak diusung hanya karena hebatnya ‘lobi’ dari para dinasti politik.
Untuk mengatasi tidak terjadi calon tunggal yang merusak tatanan demokrasi, sistem Pemilukada perlu direvisi. Harus ada pasal yang melarang calon tunggal.
“Dengan begitu, kongkalikong sesama elit partai dalam menentukan calon tunggal dapat diatasi. Begitu juga lobi-lobi para dinasti politik dapat diminimalkan,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)