JAKARTA, Beritalima.com– Setelah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) ‘The King of Lip Service’, lalu muncul tudingan tidak sedap kepada Ketua BEM UI, Leon Arvinda Putra.
Tudingan tidak sedap dan tanpa itika tersebut tampaknya dilakukan para buzzer ‘bayaran’. Leon dituding asuhan Cikeas dan pendukung Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Leon sebagai anggota HMI yang beafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Tudingan tersebut tampaknya sengaja disampaikan secara vulgar untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi dan kredibilitas pribadi Leon.
“Para penuding tidak menjawab substansi kenapa muncul julukan The King of Lip Service kepada Presiden Jokowi, tetapi mereka lebih fokus merusak reputasi dan kredibilitas Leon,” ungkap pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga.
Tujuan mereka jelas, ungkap pria yang akrab disapa Jamil ini ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Sabtu (3/7) petang, dengan rusaknya reputasi dan kredibilitas Leon di publik diharapkan masyarakat termasuk rekan-rekan dia di BEM UI tidak lagi mempercayai Leon termasuk BEM UI sebagai organisasi mahsiswa yang dia pimpin.
Publik diharapkan menjadi antipati dan berbalik menyerang Leon dan BEM UI. Upaya pembunuhan karakter (character Assassination) semacam itu memang kerap terjadi di Indonesia. Diskursus menjadi tidak berkembang karena pihak-pihak yang berwacana lebih fokus menyerang orang atau pribadi daripada apa yang diwacanakan.
Akibatnya, bukan solusi yang dihasilkan dari sebuah wacana. Wacana justeru berkembang menjadi kegaduhan karena bertebarannya stigma-stigma negatif yang ditujukan kepada pihak-pihak yang berwacana.
Celakanya, pada kasus BEM UI, para pemberi stigma negatif itu datang dari orang-orang terdidik dan bahkan ada yang sudah dedengkot di dunia politik seperti Ade Armando.
Mereka tega memberi stigma negatif kepada para mahasiswa yang memang masih belajar berwacana. Mereka justeru memberi contoh tidak baik kepada juniornya dalam berwacana. Anehnya mereka justeru terkesan bangga melakukan hal itu.
Kalau para mahasiswa terus diajarkan berwacana dengan membunuh karakter seseorang, kata Jamil, mereka dikhawatirkan akan mrlakukan hal yang sama di kemudian hari. Ada pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pepatah itu sangat tepat diberikan kepada pengajar di UI yang berprilaku demikian.
Kalau ini yang terjadi, tentu berbahaya bagi perkembangan komunikasi politik di tanah air. “Akibatnya, wacana tidak akan pernah produktif. Setiap wacana akan selalu diiringan pembunuhan karakter, yang dapat melahirkan dendam. Tentu ini tidak sehat untuk komunikasi politik di negeri tercinta,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)