JAKARTA, Beritalima.com– Program bagi-bagi tiga kartu sakti yang dijanjikan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf dinilai tidak efektif diterapkan di negara berpenduduk besar seperti Indonesia. Kartu itu hanya membodohi dan membuat rakyat malas.
Itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “Paradoks Kartu Sakti Jokowi’ di dengan pembicara akademisi Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad, Ketua Perkumpulan Swing Voters Indonesia, Adhie Massardi dan praktisi media, Arief Gunawan di Jakarta, Selasa (19/3).
Herdi menilai, dengan kondisi sumber daya manusia yang masih lemah, keberadaan Kartu Sembako Murah, Kartu PraKerja dan Kartu Indonesia Pintar yang akan diluncurkan Jokowi akan menyesatkan, tidak mendidik dan pemerintah terkesan membodohi rakyat. “Saya bisa pastikan, kalau diteruskan kartu-kartu ini maka rakyat akan semakin bodoh dan malas, dan ekonomi akan tumbuh rendah.”
Menurut Herdi, ketiga kartu sakti yakni Kartu Sembako Murah (KSM), Kartu Kuliah dan Kartu Pra-Kerja itu akan menjadi problem dikemudian hari, karena kartu-katu tersebut belum teruji efektivitasnya. “Saya khawatir kartu-kartu itu merangsang rakyat untuk main kartu, karena kartu itu hanya sebagai formalitas, bukan secara substantif,” ujar Herdi.
Herdi bilang, Visi misi Wapres KH Ma’aruf yang diklaim menyatu dengan visi misi Jokowi-JK pada periode 2014 lalu itu akan berdampak negatif pada masyarakat umum. Pasalnya kepemimpinan Jokowi masih belum memenuhi janjinya untuk memberikan harapan bagi rakyat Indonesia.
Bahkan, lanjut Herdi, kedaulatan pangan yang menjadi satu dari sembilan program prioritas presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawacita tersebut, jauh panggang dari api. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 Impor beras tembus 844 ribu ton.
“Nawacita yang selama ini digembor-gemborkan Jokowi merubah menjadi Nawaduka, karena banyaknya, impor pangan dan impor lainnya membuat daya beli masyarakat makin terpuruk,” cetus Herdi.
Adhie Massardi berpendapat, kartu-kartu sakti yang dijanjikan paslon 01 itu tidak efektif diterakan di Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak karena sulit untuk terdistribusi dengan baik dan juga kesulitan dalam mengawasi pembagiannya.
Sistem kartu itu menurutnya bisa efektif kalau dibagikan di negara yang penduduk tidak banyak seperti di Singapura dan Brunei Darussalam. Dia merujuk pada sistem Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk pemilu yang hanya bersumber KTP dalam pengaturannya ricuh.
“Apalagi di negara yang jumlah penduduknya 200 juta lebih. Ini tak akan terdistribusi dengan benar, conthnya DPT saja gak beres,” ujar mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Arief Gunawan menyebut fenomena atau kebiasaan rezim saat ini yang gemar membuat kartu-kartu sebagai Rezim Lolypop (kembang gula) atau rezim iming-iming kartu.
“Maksudnya adalah rencana pembuatan kartu-kartu seperti itu sebenarnya hanya merupakan simplifikasi (penyederhanaan) masalah dari masalah yang sebenarnya sangat kompleks,” ujar dia.
Dicontohkan kartu sembako murah. “Kenapa mesti pakai kartu? Kalau ingin memberikan sembako murah, turunkan saja harga-harga sembako itu,” ujar Arief.
Masalah pendidikan nasional yang sedemikian kompleks, ujarnya, direduksi jadi persoalan kartu belaka. Padahal, sudah bukan rahasia bahwa orang masuk perguruan tinggi yang bermutu di negeri ini susahnya bukan main dan mahal. “Jadi, harusnya mutu pendidikannya dulu yang diperbaiki,” ujar demikian Arif Gunawan. (akhir)