JAKARTA, Beritalima.com– Setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) The King of Lip Service, lalu muncul tudingan tidak sedap dari berbagai arah termasuk para buzzer kepada Ketua BEM UI, Leon Arvinda Putra.
Malah Leon dituding asuhan Cikeas dan pendukung Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Leon sebagai anggota HMI disebut beafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Tudingan itu, ungkap pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga, tampak sengaja disampaikan secara vulgar guna mengalihkan perhatian dari soal yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi dan kredibilitas pribadi Leon.
“Para penuding tidak menjawab substansi kenapa muncul julukan The King of Lip Service, tapi mereka lebih fokus merusak reputasi dan kredibilitas Leon,” kata pria yang akrab disapa Jamil ini saat bincang-bincang dengan Beritalima.com, Jumat (2/7) malam.
Tujuan mereka sangat jelas, lanjut Jamil, dengan rusaknya reputasi dan kredibilitas Leon, publik diharapkan tak mempercayai yang bersangkutan dan BEM UI yang dipimpinnya. “Publik diharapkan menjadi antipati dan berbalik menyerang Leon dan BEM UI,” jelas Jamil.
Upaya pembunuhan karakter (character Assassination) semacam itu, kata Jamil, memang kerap terjadi di Indonesia. Diskursus menjadi tidak berkembang karena pihak-pihak yang berwacana lebih fokus menyerang orangnya daripada apa yang diwacanakan.
Akibatnya, bukan solusi yang dihasilkan dari sebuah wacana. Wacana justeru berkembang pada bertebarannya stigma-stigma negatif yang ditujukan kepada pihak-pihak yang berwacana sehingga yang timbul malah kegaduhan.
Celakanya, pada kasus BEM UI, para pemberi stigma negatif itu datang dari orang-orang terdidik dan bahkan ada yang sudah dedengkot di dunia politik.
Mereka tega memberi stigma negatif kepada para mahasiswa yang memang masih belajar berwacana seperti Ade Armando. Mereka justeru memberi contoh tidak baik kepada juniornya dalam berwacana. Anehnya mereka justeru terkesan bangga melakukan hal itu.
Kalau para mahasiswa terus diajarkan berwacana dengan membunuh karakter seseorang, maka mereka dikhawatirkan akan mrlakukan hal yang sama di kemudian hari. Kalau ini yang terjadi, tentu berbahaya bagi perkembangan komunikasi politik di tanah air.
“Akibatnya, wacana tidak akan pernah produktif. Setiap wacana akan selalu diiringan pembunuhan karakter, yang dapat melahirkan dendam. Tentu ini tidak sehat untuk komunikasi politik di negeri tercinta,” demikian Muhammad Jamiluddin Rotonga. (akhir)