JAKARTA, Beritalima.com– Langkah Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sejak dilantik menggantikan Idham Aziz rajin sowan ke Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persis payut dicontoh.
Kunjungan Kapolri itu, ungkap pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiludin Ritonga tentu tidak hanya dimaksudkan untuk bersilaturahmi. Hubungan umaroh dan ulama yang selama ini kurang harmonis tampaknya ingin dipulihkan.
Kapolri dengan sowan ke ormas Islam juga menunjukkan kerendahan hati seorang pejabat. Kapolri tidak berharap didatangi ulama, apalagi untuk mengumpulkan ulama dikediaman umaroh. Kapolri tahu, ulama yang sesungguhnya tidak akan mau melakukan hal itu.
Jadi, lanjut pria yang akrab disapa Jamil ini, sowan Kapolri ke ormas Islam setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, Kapolri yang non Islam. Karena itu, wajar bila ia sowan ke Ormas Islam untuk menghilangkan kemungkinan adanya prasangka terhadap dirinya. Melalui sowan ini diharapkan masalah psikologis dan sosiologis antara Kapolri dan ormas Islam dapat diminimalkan.
Kedua, gesekan Islam dengan Polri yang kerap terjadi tampaknya ingin dicairkan. Dengan lebih banyak sowan ke ormas Islam, Kapolri ingin menunjukkan pentingnya ormas Islam bagi Polri. Melalui pendekatan ini, Kapolri berharap gesekan dan polarisasi yang sempat terjadi dapat diredahkan.
Tiga, karena Islam mayoritas di Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap kamtibmas di Indonesia. Karena itu, sangat wajar bila Polri lebih sering sowan ke ormas Islam. Melalui sowan ini diharapkan ada kesepahaman antara Polri dan ormas Islam tentang kamtibmas di Indonesia.
Jadi, lanjut Jamil, kehadiran Kapolri ke ormas Islam selain untuk bersilaturahmi, juga bermuatan politis. Kapolri ingin mendapat dukungan sepenuhnya dari ormas Islam. Kalau ini berhasil, tentu peluangnya menjaga kamtibmas di Indonesia akan lebih mudah.
“Karena itu, sowan Kapolri ke ormas Islam patut dicontoh oleh petinggi lainnya. Sebab, pemimpin akan berhasil memimpin negeri ini bila didukung mayoritas rakyatnya. Di Indonesia, suka tidak suka, yang mayoritas beragama Islam,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)