JAKARTA, Beritalima.com–
Permintaan Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Dr. H. Malem Sambat (MS) Kaban MPR RI melaksanakan Sidang Istimewa (SI) untuk mengadili Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat banyak respon.
Permintaan Menteri Kehutanan era pertama Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut, papar pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga tentu tak ada yang aneh.
Sebab, MS Kaban sebagai warga negara punya hak menyatakan hal itu berdasarkan argumentasi yang dikemukakannya.
Buat mereka yang tidak menyetujui apa yang dikemukakan MS Ka’ban, juga mempunyai hak untuk membantah tentu dengan mengajukan argumentasi pula.
“Biarkan argumentasi itu saling mengemuka di ranah publik tanpa diiringi saling hujat. Nantinya publik yang menilai argumentasi mana yang paling dapat diterima,” kata pria yang akrab disapa Jamil saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Kamis (22/7) pagi.
Jadi, lanjut Jamil, jangan cepat menghakimi MS Kaban dengan berbagai jargon negatif. Wacana seperti itu tidak sesuai dengan kehendak demokrasi.
“Permintaan MS Kaban itu sudah diatur dalam UUD 1945, khususnya pasal 7A dan 7B,” kata Jamil.
Kalau mengacu pada dua pasal tersebut, lanjut Jamil, permintaan MS Kaban untuk memberhentikan Presiden dapat dilaksanakan bila DPR RI/DPD RI setuju dan mengajukannya kepada MPR RI.
Namun sebelum diajukan ke MPR RI, DPR RI terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR/DPD RI bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Pelanggaran hukum itu dapat berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela atau presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
Jadi, MPR RI dapat memberhentikan presiden atas usul DPR.
Usulan DPR itu sendiri mengacu atas keputusan Mahkamah Konstitusi. Sementara Keputusan Mahkamah Konstitusi ada karena atas permintaan DPR RI. ”
Karena itu, permintaan MS Kaban dapat terwujud bila DPR RI menyetujuinya,” kata mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fikom IISIP) Jakarta ini.
Namun, peluang ke arah itu tentu sangat kecil mengingat DPR RI dikuasai Partai Koalisi pendukung Pemerintah pimpinan Presiden Jokowi. Suara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai oposisi tak cukup untuk menggolkan permintaan MS Kaban. PAN tak jelas arahnya, karena tidak mau mengakui diluar pemerintahan tetapi Partai Koalisi belum menerimanya hingga saat ini.
Meski peluangnya kecil, kata Jamil, tetapi MS Kaban setidaknya sudah berani mengajak publik untuk berwacana mengenai pemakzulan presiden. MS Kaban sudah mencairkan sekat rasa takut untuk membahas pemakzulan presiden. “Ini tentu menggembirakan untuk perkembangan demokrasi di tanah air,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)