JAKARTA, Beritalima.com– Di tengah wabah pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda Indonesia, pasangan calon (paslon) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember mendatang perlu memanfaatkan secara maksimal media sosial (medsos) untuk menyampaikan visi serta misi mereka kepada calon pemilih.
Soalnya, kata pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-binvang dengan Beritalima.com di Jakarta, Senin (28/9) pagi, paslon yang bakal maju pada Pilkada nanti dilarang melakukan kegiatan kampanye seperti yang dilakukan pada kondisi normal berupa pentas seni, panen raya, konser musik, jalan santai, bazar, donor darah dan kampanye akbar.
Pasal 88C ayat (1) Peraturan KPU (PKPU) No: 13/2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam menyebutkan larangan kapanye yang tidak boleh dilakukan paslon. “Larangan jenis kegiatan kampanye itu cukup melegakan,” kata pria yang akrab disapa Jamil tersebut.
Soalnya, lanjut pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Krisis dan Strategi Public Relation serta Riset Kehumasan tersebut, kampanye yang memberi ruang terjadinya kerumunan massa ditiadakan.
Jadi, bentuk kampanye lain yang tidak melanggar aturan dapat dilakukan melalui media sosial atau media daring. Melalui media ini kampanye dapat dilakukan secara dialogis dan partisipatif.
Kampanye melalui medsos memang direkomendasikan banyak pihak karena jumlah pengguna internet di Indonesia akhir Januari 2020 ada sekitar 175,4 juta orang dari total penduduk 272,1 juta jiwa. Dari jumlah itu, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Dengan asumsi itu, lanjut penulis buku Tipologi Pesan Persuasif, Perang Bush Memburu Osama, Riset Kehumasan dan Kisah&Kiat Presenter Sukses ini, kampanye Pilkada Serantak 2020 yang dimulai hari ini, akan marak di media sosial atau media daring. Media sosial bakal ‘dibanjiri’ pesan-pesan politik dengan berbagai ajakan baik yang indirect maupun direct.
Namun, maraknya kampanye melalui medsos, kata Jamil, diperkirakan hanya di sebagian daerah saja. Sebab, menurut Bawaslu, masih ada kendala akses internet di 541 kecamatan di daerah yang menggelar pilkada. Daerah yang akses internet masih terbatas tentu menyulitkan buat paslon menyapa para calon pemilih.
Dengan begitu, calon pemilih juga tak akan mengetahui banyak paslon yang bakal mereka pilih. Jadi, pelaksanaan kampanye seperti itu tentu tidak berjalan optimal sehingga hakekat kampanye memperkenalkan para kandidat juga akan dinilai gagal.
Bila itu yang terjadi, ada kemungkinan pemilih rasional akan memutuskan golput. Tidak cukup informasi bagi kelompok pemilih seperti ini untuk menilai calon yang akan dipilih. Sebaliknya, bagi pemilih irasional, mereka akan memilih tanpa mengenal sang calon dengan baik.
“Pemilih tipe ini akan rentan dengan politik uang. Prinsif wangi piro dikhawatirkan akan marak pada Pilkada Serwntak 2020. Kalau hal itu yang terjadi, kualitas pilkada menurun dan kepercayaan masyatakat terhadap calon terpilih juga akan rendah,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)