JAKARTA, Beritalima.com– Ajakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengharapkan masyarakat aktif melakukan kritik terhadap Pemerintah dia pimpin dinilai aneh karena sejak reformasi bergulir 22 tahun lalu, Indonesia menganut sistem demokrasi.
Di negara demokrasi, kata pengamat politik Univeristas Esa Unggul Jakarta tersebut, kritik itu harusnya mengemuka secara alamiah, bukan harus diminta, apalagi oleh seorang kepala negara atau Presiden. . Masyarakat akan aktif menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah, termasuk atas sikap dan perilaku pejabat negara.
Jadi, kalau Presiden Jokowi meminta masyarakat aktif untuk memberikan kritik kepada peerintahan yang dia pimpin, berarti ada yang tidak beres dalan praktik demokrasi di Indonesia. Demokrasi berjalan seolah-olah belum memberi ruang yang besar kepada masyarakat untuk menyampaikan kritiknya.
Padahal, lanjut pria yang akrab disapa Jamil ini ketika bincang-bincang dengan Beritalima di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/12) siang, ruang untuk itu sangat terbuka sejak anak bangsa sepakat menganut demokrasi.
Hanya saja, lanjut pengajar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikas dan Riset Kehumasan tersebut, dalam perjalanannya, ruang menyatakan kritik itu menjadi terbelenggu setelah bermunculan buzzer bayaran bagaikan jamur atau cendawan pada musim penghujan di media sosial (medsos).
Para buzzer bayaran, kata dia, tid k sungkan ‘menguliti’ atau membully siapa saja yang mengkritik Pemerintah. Hal itu sudah dialami pengkretisi Pemerintahan Jokowi seperti ekonom senior dan juga mantan Menteri, Kwik Gie atau anggota kabinet kerja pimpinan Jokowi, Susi Pudjiastuti dan para pengkritik pemerintah baik di media massa maupun di media sosial. “Sampai-sampai Kwik merasa takut untuk mengkritik pemerintah.” kata Jamil.
Perilaku buzzer bayaran memang tak lazim di negara demokrasi. Sebab, di negara demokrasi ancaman terhadap pengkritik lazimnya dari negara (state). Hal ini juga mengemuka dalam literatur Barat, ilmuwan di sana umumnya hanya percaya ancaman terhadap pengkritik hanya dari negara.
Bila ada ancaman terhadap pengkritik dari buzzer bayaran (masyarakat), ilmuwan Barat pada umumnya tidak percaya. Padahal, di Indonesia hal itu terjadi, dimana buzzer (masyarakat) melakukan ancaman terhadap pengkritik. Bahkan orang sekelas Kwik saja sampai ketakutan.
Karena itu, kalau presiden ingin masyarakat aktif mengkritik pemerintah, maka para buzzer bayaran yang pertama harus ditertibkan. Sebab, mereka ini yang aktif menguliti siapa saja yang mengkritik pemerintah.
Masalahnya, apakah Presiden Jokowi mau menertibkan para buzzer bayaran ? “Kalau tidak, tentu ajakan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah hanya basa basi politik saja,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)