JAKARTA, Beritalima.com– Beberapa bulan terakhir bermunculan lembaga yang melakukan survei terkait elektabilitas tokoh dan elite nasional. Padahal, pemilihan presiden (pilpres) dijadwalkan bari digelar 2024.
Hasil survei itu, kata pengamat komunikasi politik, Muhammad Jamiliddin Ritonga saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Senayan Jakarta, Senin (16/8), kerap membingungkan masyarakat.
Survei yang dilakukan Charta Politica dan Indonesia Political Opinion (IPO) misalnya, menunjukkan hasil yang berbeda. Pada Charta Politica, elektabilitas tiga besar masih dipegang Ganjar Pranomo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Hasil ini tidak mengejutkan karena dari berbagai survei dari lembaga survei kredibel tiga tokoh ini memang bergantian menempati urutan 1 hingga tiga.
Berbeda halnya hasil yang dirilis IPO, tiga besar diisi Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Sandiaga Uno. Elektabilitas Prabowo hanya diurutan 5 dengan hasil 7,8 persen.
Hasil survei IPO ini tentu saja menimbulkan tanda tanya, papar pengajar ilmu komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta tersebut, mengingat selama ini elektabilitas Prabowo selalu tiga besar dan tidak pernah dibawah dua digit (7,8 persen).
Padahal, selama ini tidak ada isu miring yang dapat membuat melorotnya elektabilitas Prabowo.
Perbedaan hasil survei seperti itu sudah kerap terjadi. Akibatnya, banyak pihak yang meragukan validitas hasil survei, khususnya terkait popularitas dan elektabilitas tokoh tertentu.
Wakil Ketua Umum partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pimpin Prabowo, Habiburokhman termasuk pihak yang meragukan hasil survei IPO. Dia mengaku, lebih percaya kepada survei internasl yang dilakukan partai Gerindra.
Menurut Habiburokhman, Gerindra punya lembaga survei internal dan dia hanya percaya hasil survei internal.
Nada sumbang seperti itu kerap mengemuka. Hasil survei dinilai untuk menggiring opini publik baik dalam arti positif maupun negatif.
Kesan seperti itu, papar pria yang akrab disapa Jamil ini, tentu berbahaya terhadap eksistensi lembaga survei. Sebab, hubungan lembaga survei dengan pengguna dan masyarakat didasarkan pada kepercayaan.
“Kalau kepercayaan pengguna dan masyarakat sudah hilang, hilang pulalah eksistensi lembaga survei tersebut. Setidaknya lembaga survei itu akan hidup segan mati tak mau.”
”
Itu tentu saja tidak perlu terjadi bila semua lembaga survei tetap taat asas dengan prosedur survei. Untuk itu, objektifitas harus tetap dijadikan etos kerja dan harga mati bagi semua lembaga survei di tanah air,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)