oleh:
Prof. Dr. Manlian Ronald. A. Simanjuntak, ST., MT., D. Min
(Guru Besar Universitas Pelita Harapan)
Indonesia memiliki tenaga segar dalam rangka “Pengendalian Bencana” di Indonesia pasca dilantiknya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang baru Bapak Letnan Jenderal TNI Doni Monardo oleh Presiden Ir. Joko Widodo di Istana Negara Jakarta pada tanggal 9 Januari 2019. Apresiasi yang tinggi kita sampaikan kepada Bapak Presiden Joko Widodo, karena dari berbagai informasi yang dihimpun sebelum melantik Kepala BNPB yang baru, beliau juga mencermati dan merevisi payung hukum BNPB.
Mencermati postur alam Indonesia, potret bencana yang telah terjadi sampai awal tahun 2019, postur pembiayaan penanganan kebencanaan di Indonesia, potret unit yang melaksanakan penanganan kebencanaan, potret Penataan Ruang Indonesia, potret “awareness” masyarakat Indonesia, maka saat ini juga saatnya hal tentang “Risiko dan Bencana” harus menjadi Program Utama Pemerintah bersama masyarakat. Penanganan “Risiko dan Bencana” bukan sekedar menjadi satu-satunya beban negara secara khusus dalam hal pembiayaan saat penanggulangan dan pasca bencana terjadi. Selain menjadi “beban anggaran negara” saat ini, upaya “pembiayaan pasca Risiko & Bencana saat ini harus pinjam dari luar negeri”.
Perlu kita mengerti kembali, hal tentang “Risiko” dan “Bencana” adalah 2 hal yang unik secara filosofis. Risiko dapat dicegah sedangkan Bencana tidak dapat dicegah. Bencana sesungguhnya hanya dapat ditanggulangi. Risiko berbasis “pencegahan”. Sedangkan hal tentang Bencana berbasis “penanggulangan”. Kita sering mencampuradukkan kedua hal yang unik ini. Dalam perkembangannya, dari berbagai studi dan dokumentasi, “bencana” dapat dipelajari perilakunya, sehingga dimungkinkan sejumlah usaha manusia untuk melakukan program pencegahan sebelum bencana terjadi (pra bencana) yang disebut “mitigasi” bencana.
Catatan penting dari Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, diperlukan dana sejumlah Rp 34 triliun untuk proses pemulihan “rehabilitasi dan rekonstruksi” di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Negara melalui Kementerian Keuangan RI menyediakan dana Rp 6 triliun, dan melalui komitmen luar negeri sebesar Rp 15,6:triliun. Masih ada kekurangan dana Rp 15, 6 triliun. Z
Yang jauh lebih penting lagi dari dampak bencana yang telah terjadi, dari berbagai informasi yang dihimpun, tercatat yaitu: 1. Korban jiwa dari
dampak gempa di
Lombok menewaskan
564 orang,
2. Korban jiwa akibat
Tsunami di Sulawesi
Tengah menewaskan
dan menghilangkan
3475 orang,
3. Korban jiwa akibat
Tsunami di Selat
Sunda juga
menewaskan/
menghilangkan 437
orang.
Dari potret potensi natur bencana di Indonesia, Indonesia memiliki natur bencana Katastropik dan natur bencana Hidrometeorologi.
Natur bencana Katastropik yaitu dampak letusan gunung, gempa dan Tsunami. Natur bencana ini sudah dialami di Indonesia tahun 1883 pasca letusan Gunung Krakatau yang diikuti Tsunami yang menewaskan 36.000 jiwa. Selanjutnya Gunung Toba di Sumatera Utara hampir memusnahkan peradaban manusia modern. Gempa dan Tsunami di Aceh berdampak 200.000 jiwa meninggal atau hilang.
Natur bencana Hidrometeorologi berupa banjir, longsor sera puting beliung juga mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit.
Jika kita analisis dan modelkan tentang postur alam, potret kejadian risiko, dan dampak yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa Indonesia ada di sekitar lingkungan yang “rawan risiko dan bencana”.
Hal ini yang dicermati Bapak Presiden, dan beliau merekomendasikan:
1. Mengutamakan
Mitigasi Bencana
2. Meningkatkan
Manajemen
Penanggulangan
Bencana
3. Memerlukan
“leadership yang
andal” dalam rangka
mengantisipasi
dampak bencana.
Sehubungan dengan hal di atas, rekomendasi SOLUSI kritis bagi kita semua:
SATU
Hal tentang “Risiko dan Bencana” harus menjadi Program Utama dan Inti yang dilakukan Pemerintah bersama Rakyat. Implementasinya berhubungan dengan Program Kerja dan Pembiayaan yang harus direncanakan secara terintegrasi. Masukkan hal ini dalam Program Kerja Jangka Pendek, Menengah dan Panjang. Susun APBN untuk Program ini secara terintegrasi nasional.
DUA
Diperlukan “Penguatan Kebijakan” yang menjadi dasar agar Program Pengendalian Risiko dan Kebencanaan menjadi vital di daerah dan pusat. Implementasinya saat ini perlu dicermati apakah UU Penanggulangan Bencana dapat memayungi hal tentang Risiko dan Bencana, serta apakah UU yang relevan mampu mengimplementasikan di daerah agar berjalan secara efektif?
TIGA
Diperlukan “Penguatan Kelembagaan” yang nyata. BNPB sebagai Unit Badan di bawah komando Presiden seharusnya mampu mengkoordinir berbagai Pihak sehubungan dengan Pengendalian Risiko dan Bencana: Kementerian yang terkait, Pemda, Antar Pemda, para Profesional dalam bidang Risiko dan Bencana, BMKG, Basarnas, PMI, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perusahaan, Masyarakat, dll.
EMPAT
Sehubungan dengan Penguatan Kebijakan dan Kelembagaan, perlu diputuskan “positioning” koordinator yang mengendalikan hal tentang risiko dan bencana untuk dapat juga disinergikan dengan Lembaga Tinggi Negara (DPR, BPK, DPRD, dll).
LIMA
Jika hal di atas jelas dan mantap, maka harus disusun “Materi Dokumentasi Potensi Risiko dan Bencana” baik dalam bentuk: Peta Pencegahan/Mitigasi Risiko serta Bencana, Populasi Penduduk, Tata Ruang, dll.
ENAM
Produk hal Pengendalian Risiko dan Bencana di atas (UU, KepMen, Perda, Peta, RUTR, RDTR, RBWK, Data Populasi Penduduk, dll) menjadi dasar acuan penyelenggaraan Pemerintah di daerah dan pusat secara terintegrasi.
Kiranya Pemerintah bersama rakyat cermat dan detail mengawal proses Pengendalian Risiko dan Bencana di Indonesia.
Risiko dan Bencana “harus” menjadi program utama Pemerintah bersama Rakyat Indonesia.